Harga minyakmengalami koreksi tajam hari ini, Rabu (13/7), dipicu oleh menguatnya sinyal resesi ekonomi dunia. Selain itu, ekonomi Cina juga diprediksi melambat imbas penguncian wilayah (lockdown) Covid-19 berkepanjangan yang berpotensi menekan permintaan energi.
Cina merupakan negara pengimpor minyak terbesar di dunia serta pengkonsumsi bahan bakar terbesar kedua setelah Amerika Serikat (AS). Merosotnya harga juga dipengaruhi oleh menguatnya persediaan minyak AS sedikit melonggarkan pasokan di pasar.
Selain itu, sementara permintaan mungkin melemah, pasokan telah bertahan dari tekanan yang didorong oleh sanksi Barat terhadap Rusia, yang kini telah menemukan pasar baru untuk minyak mentah dan produk minyak olahannya di Cina, India, dan Amerika Selatan.
"Kita telah melewati titik di mana pasar paling ketat, dan kita akan melihat persediaan minyak naik dan harga moderat. Cina adalah bagian besar dari itu yang telah menjadi pendorong permintaan minyak dalam 10 tahun terakhir," kata presiden Strategic Energy and Economic Research Michael Lynch, seperti dikutip The New York Times.
Harga minyak acuan internasional, Brent hari ini sempat menyentuh US$ 98,3 per barel atau turun sekitar 7%. Meski demikian harga Brent kini kembali bangkit ke US$ 100,51 per barel. Sementara West Texas Intermediate (WTI) sempat mencapai US$ 94,3 per barel dan kini berada di US$ 96,94 per barel, terendah dalam tiga bulan terakhir.
Sementara itu data American Petroleum Institute menunjukkan stok minyak mentah AS naik sekitar 4,8 juta barel pada pekan kedua bulan Juli. Persediaan bensin juga naik 3 juta barel, sementara stok sulingan naik sekitar 3,3 juta barel.
Para investor telah menjual posisi minyak di tengah kekhawatiran kenaikan suku bunga yang akan memicu resesi ekonomi dan memukul permintaan minyak. Harga turun lebih dari 7% di sesi sebelumnya di tengah perdagangan sebelumnya.
Penguatan nilai tukar dolar terhadap sejumlah mata uang dunia ke level tertinggi sejak Oktober 2002 dinilai membebani harga minyak mentah dunia karena membuat komoditas tersebut menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya. Investor juga cenderung melihat dolar sebagai tempat yang aman selama volatilitas pasar.
“Volatilitas di pasar komoditas meningkatkan taruhan untuk menghasilkan uang. Penipisan komoditas lain juga telah mengurangi selera risiko untuk minyak mentah bahkan di pasar dengan pasokan terbatas," kata Rebecca Babin, pedagang energi senior di CIBC Private Wealth Management.
Sebelumnya Goldman Sachs memprediksi resesi hanya akan menekan harga minyak dalam jangka pendek sebelum akhirnya naik lagi karena ketatnya pasokan.
Bank investasi global itu memperkirakan harga minyak berpotensi mencapai US$ 140 per barel. “US$ 140 per barel masih jadi perkiraan dasar kami,” kata analis energi Goldman Sachs, Damien Courvalin, seperti dikutip dari CNBC.com, Jumat (8/7).
Menurut dia, harga minyak masih tinggi karena pasar masih dibebani masalah ketidaksesuaian penawaran dan permintaan. Tidak seperti ekuitas yang merupakan aset antisipatif di mana investor bisa melepasnya sebelum harganya turun.
Corvalin menjelaskan bahwa harga minyak akan terus naik selama enam bulan pertama sejak penurunan pasar, didukung oleh ketatnya pasokan karena persediaan terus berkurang.
“Akhirnya, harga minyak terseret oleh ekonomi yang melambat. Goldman melihat hal itu terjadi lagi, bahkan jika kita sedang menuju resesi, setidaknya pada awal resesi,” kata dia.