Nasib Bisnis Batu Bara RI di Tengah Aksi Bank-bank Besar Setop Kredit

Donang Wahyu|KATADATA
Ilustrasi. Permintaan terhadap batu bara tengah meningkat di tengah krisis energi yang terjadi di Eropa.
16/7/2022, 13.27 WIB

Sejumlah bank internasional mulai menyetop pembiayaan ke perusahaan-perusahaan batu bara demi mendorong percepatan transisi energi. Langkah ini tetap ditempuh meski bisnis batu bara tengah kinclong seiring permintaan yang meningkat akibat krisis energi global.

Melansir laporan Institute dor Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Coal Divestment, bank-bank internasional seperti Standard Chartered, The Development Bank of Singapore (DBS), Oversea-Chinese Banking Corporation (OCBC), Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC), dan Commerce International Merchant Bankers (CIMB) telah menyatakan diri akan menghentikan pendanaan ke sejumlah industri mineral hitam.

Mengutip laporan yang ditulis oleh Capital Monitor pada 22 Juni 2022 lalu, Standard Chartered bahkan telah mengakhiri hubungannya dengan Adaro Indonesia, anak perusahaan dari grup Adaro Energy pada 26 April. Langkah ini diambil setelah Standard Chartered berjanji untuk berhenti menyediakan layanan keuangan kepada perusahaan pertambangan dan pembangkit listrik yang memperoleh 100% pendapatan mereka dari batu bara termal.

Pada April 2021, Standard Chartered dilaporkan sebagai salah satu dari beberapa bank internasional yang memberikan pinjaman US$400 juta kepada Adaro Indonesia. Sejak 2006, bank telah menyediakan setidaknya $300 juta dalam pendanaan untuk Adaro Energy dan anak perusahaannya. Adaro hingga Jumat (15/7) belum merespons permintaan konfirmasi yang diajukan Katadata.co.id. 

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, pendanaan dari perbankan saat ini memang kian seret seiring langkah bank-bank besar global. Padahal, menurut dia, permintaan terhadap batu bara saat ini meningkat dan mendorong harganya melonjak tajam akibat krisis energi di Eropa. 

Harga batu bara di Pasar ICE Newcastle pada Jumat (15/7) malam berada di level US$ 410 per ton atau turun 5,09% dibandingkan harga pekan lalu di posisi US$ 432 per ton.

"Kami tidak pungkiri bahwa pendanaan berkurang, tetapi fakta menunjukkan bahwa dalam 6-7 tahun terakhir, produksi dan ekspor terus meningkat, kecuali saat pandemi Covid-19 pada 2020. Ini dua fakta yang sama-sama benar," kata Hendra saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Jumat (15/7).

Hendra menilai prospek batu bara di Tanah Air dalam jangka pendek masih cerah. Sejumlah negara Eropa saat ini bahkan sedang berburu pasokan batu bara dari Indonesia untuk mengatasi masalah pasokan gas. 

Untuk jangka pendek, perusahaan masih melihat batu bara ini cukup prospektif. Permintaan masih besar, bahkan permintaan dari Eropa meningkat dan PLTU batu bara juga terus dibangun. Ini adalah fakta," kata Hendra.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa ekspor batu bara Indonesia ke Uni Eropa (UE) pada kuartal II tahun ini mencapai US$ 191,2 juta, melonjak 143,72% dibandingkan kuartal sebelumnya senilai US$ 78,4 juta.

Ekspor batu bara sepanjang semester pertama telah mencapai US$ 4,56 miliar, naik 136,63% jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.  Lonjakan ekspor batu bara juga menjadi pendorong utama naiknya ekspor produk pertambangan sebesar 103,6% menjadi US$ 5,93 miliar.

Lonjakan ekspor batu bara ke Uni Eropa, terutama untuk tujuan Italia sebesar US$ 111,7 juta, Belanda US$ 79,2 juta, Polandia US$ 43,2 juta, dan Swiss US$ 15,5 juta.

Adaptasi Perusahaan Batu Bara

Hendra menyadari, permintaan terhadap batu bara akan merosotseiring dengan mulai berkembangnya sumber energi bersih. Sejumlah perusahaan besar, menurut dia, juga mulai beradaptasi mengikuti tren transisi energi.

Menurut Hendra, beberapa di antaranya melakukan diversifikasi produk turunan batu bara, berinvestasi kepada ekosistem kendaran listrik, serta mendirikan smelter untuk pengolahan nikel sebagai bahan baku baterai.

"Beberapa perusahaan sudah mulai diversifikasi  portofolio mereka, ada yang sudah mulai masuk ke renewable energy. Karena untuk jangka panjang. mungkin permintaan terhadap batu bara tentu saja berkurang seiring dengan masifnya renewable energy," ujarnya.

Namun demikian, menurut Hendra, tidak semua perusahaan batu bara mampu untuk melakukan pergeseran corak bisnis. Hanya perusahaan-perusahaan raksasa yang mampu untuk beralih ke bisnis energi yang lebih bersih. Pemain kecil yang hanya memiliki cadangan batu bara jangka pendek yang akan habis dalam 5-10 tahun ke depan akan terus memaksimalkan penjualan mereka di saat momen tingginya permintaan dan harga barang.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan juga menilai, bisnis batu bara saat ini masih moncer akibat krisis energi di Eropa yang meningkatkan permintaan. Batu bara saat ini menjadi energi alternatif pengganti gas yang mulai langka di Eropa karena pemutusan aliran gas dari Rusia. 

Gas adalah sumber energi listrik terbesar di Eropa. Menurut Mamit, sejumlah sumber energi alternatif seperti tenaga nuklir, panel surya dan tenaga angin masih bersifat intermiten dan belum bisa digunakan secara terus-menerus atau nonstop.Kondisi ini, menurut dia, mengharuskan negara Eropa untuk kembali memasifkan penggunaan energi fosil demi ketahanan energi.

Ia pun memperkirakan, penurunan permintaan batu bara dirasa baru akan terjadi jika PLN secara serius mempensiunkan dini PLTU batu bara pada 2030. 

"Negara Eropa saat ini mau tidak mau sudah melirik batu bara sebagai sumber energi untuk bahan bakar PLTU di tengah melemahnya pasokan gas dari Rusia," kata Mamit melalui sambungan telepon pada Jumat (15/7).

Mamit menilai masih ada sejumlah lembaga keuangan yang bersedia mendanai usaha sektor batu bara di tengah banyak bank  besar mendeklarasikan diri untuk mengurangi pendanaan ke sektor energi kotor. Harga batu bara yang masih terus bertengger di posisi tinggi membuat masih banyak lembaga keuangan yang akan mendukung sektor ini.

"Memang bank mulai berpikir untuk mengurangi dana ke energi kotor, tapi dengan kondisi yang sangat bagus dan menguntungkan pastinya ada yang tertarik untuk membantu industri batu bara," ujar Mamit.

Ramai-ramai Setop Beri Kredit

Melansir laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Coal Divestment, bank asal Singapura DBS mengatakan akan menghentikan pembiayaan terhadap nasabah  yang memperoleh lebih dari 50% pendapatan dari batu bara termal mulai Januari 2026.

Bank asal Singapura lainnya, OCBC, juga mengambil sikap serupa. Mereka menyebut tidak akan memberikan pembiayaan baru atau pendanaan ulang untuk tambang batu bara termal termasuk ekspansi dan pemurnian yang signifikan dari tambang yang sudah ada atau yang beroperasi. Selanjutnya, lembaga pinjaman asal Jepang, Mizuho juga mengatakan mereka tidak menyediakan pembiayaan atau investasi untuk proyek penambangan batu bara termal yang baru.

Bank internasional asal Asia lainnya, seperti SMBC juga menyampaikan mereka tidak lagi memberikan pendanaan untuk proyek perluasan pertambangan maupun proyek pertambangan batu bara termal yang baru .Adapun sikap yang sama juga diutarakan oleh ANZ. Bank asal Australia itu menyebut tidak akan secara langsung mendanai pembangkit listrik tenaga batu bara baru, termasuk ekspansi. Pinjaman langsung yang ada akan habis pada tahun 2030.

Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, Andri Prasetiyo mengatakan perbankan internasional lebih mempertimbangkan kepastian bisnis jangka panjang di tengah meningkatnya tekanan publik perihal keterlibatan bank dengan perusahaan penghasil emisi.

"Lagipula harga batu bata itukan sifatnya relatif liar. Di sisi lain, bank juga berfikir secara kepastian bisnis dan reputasi mereka agar tidak hancur," kata Andri dalam diskusi daring bertajuk Nasib Perpanjangan Kontrak PKP2B di Tengah Menyusutnya Pendanaan Batu Bara pada Kamis (14/7).

Andri pun menyayangkan sikap-sikap bank dalam negeri yang belum berani mengambil sikap tegas terhadap kebijakan mereka yang masih mendanai proyek pertambangan batu bara. Meski demikian, menurut dia, sejumlah bank dalam negeri sudah memberikan beberapa sinyal seperti adanya wacana Environmental, Social, and Governance (ESG) yang digunakan untuk mengukur keberlanjutan dan dampak etis dari hasil investasi dalam bisnis atau perusahaan. Mereka juga dirasa sudah mendapat dorongan untuk mengubah kebijakan mereka ke pendanaan hijau.

"Bank lokal masih setengah hati dari pendanaan batu bara. BRI pernah menyatakan itu, tapi belum ada keterangan tertulis pasca komitmen verbal mereka di konferensi World Economic Forum Swiss lalu," ujar Andri.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu