Pengusaha Nantikan Badan Khusus Batu Bara Selesaikan Persoalan DMO

ANTARA FOTO/Makna Zaezar/foc.
Sebuah kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Barito, Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Senin (20/6/2022).
3/8/2022, 12.29 WIB

Sejumlah pengusaha batu bara yang tergabung dalam Asosiasi Pemasok Energi dan Batu bara (Aspebindo) meminta pemerintah untuk segera merealisasikan badan khusus sebagai pemungut iuran ekspor batu bara.

Langkah ini ditujukan untuk mengatasi tingginya disparitas antara harga jual dalam skema kewajiban penjualan di pasar domestik (domestic market obligation/DMO) yang hanya US$ 70-90 per ton kepada PLN dan sejumlah sektor industri, dengan harga di pasar internasional.

Badan khusus bertugas menutup selisih harga DMO dengan harga pasar dari dana hasil tarikan iuran ekspor para penambang. Singkatnya, hasil iuran bakal dialihkan untuk menutupi kekurangan harga yang dibayarkan oleh PLN dan pelaku industri.

Wakil Ketua Umum Aspebindo, Fathul Nugroho, menyebut kesenjangan harga yang tinggi itu menjadi salah satu faktor menipisnya pasokan batu bara untuk keperluan domestik. Sebab, mayoritas penambang dan trader batu bara memilih untuk melakukan pengiriman batu arang ke pasar luar negeri ketimbang DMO.

“Kenaikan harga komoditas batu bara mengakibatkan pemilik tambang dan trader batu bara lebih tertarik dengan ekspor,” kata Fathul dalam Diskusi Publik Badan Layanan Umum (BLU) Batu Bara yang dihelat pada Selasa (2/8).

Harga batu bara di Pasar Ice Newscastle pada Rabu (3/8) bertengger di US$ 388 per ton. Walau mengalami penurunan 0,58% dari pekan kemarin di level US$ 390,25 per ton, harga pasar ini tetap jauh lebih tinggi dari harga DMO. Hal ini berdampak pada makin sulitnya PLN dan industri semen dan pupuk untuk memperoleh jatah batu bara.

Fathul menyebut, penjualan batu bara pada pasar domestik cenderung memperoleh keuntungan yang tipis karena harga DMO dalam negeri yang jauh lebih rendah daripada harga di pasar ekspor.

Dia menilai, salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah segera menjalankan skema BLU yang bekerja untuk menarik iuran batu bara dari setiap transaksi penjualan ekspor atau penjualan pada harga pasar.

“BLU bisa jadi solusi disparitas harga. Hingga kini, kami belum dapat sosialisasi, perlu adanya konsolidasi di industri angkutan batu bara agar biaya logistik di dalam negeri menjadi lebih efisien," ujar Fathul.

Sementara harga batu bara acuan (HBA) masih tinggi, yakni US$ 321,59 per ton pada Agustus 2022. HBA tersebut naik US$ 2,59 per ton dibandingkan bulan sebelumnya dipicu oleh krisis gas di Eropa yang meningkatkan permintaan batu bara.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan kenaikan harga batu bara acuan Indonesia dipicu oleh krisis gas di Eropa yang mendorong permintaan batu bara.

“Harga gas alam cair di Eropa terus merangkak naik menyusul ketidakpastian pasokan gas. Bahkan beberapa negera Eropa mengaktifkan kembali pembangkit listrik batu bara guna antisipasi adanya krisis listrik,” ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (2/8).

Faktor lain yang turut memengaruhi, sambung Agung, adalah adanya lonjakan permintaan batubara dari Tiongkok, India dan Korea Selatan. “Ini disebabkan lantaran Rusia menawarkan diskon harga batubara,” ujarnya.

Kenaikan ini mencatatkan tren positif harga batubara sepanjang tahun 2022. Pada Januari 2022, HBA ditetapkan sebesar US$ 158,50/ton, kemudian naik ke US$ 188,38 pada Februari. Selanjutnya bulan Maret menyentuh angka US$ 203,69, April US$ 288,40, Mei US$ 275,64, Juni US$ 323,91, Juli turun menjadi US$ 319.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu