Kementerian ESDM akan segera meluncurkan bahan bakar nabati (BBN) bioetanol dengan komposisi bauran 2,5% tetes tebu dan 97,5% bensin. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana, mengatakan campuran tetes tebu bisa meningkatkan kadar oktan atau kualitas bensin.
"(Tahun ini) tinggal nyampur doang, kajiannya sudah. Kalau Pertamina sudah siap dari tangkinya, sudah bisa jalan," kata Dadan di Kantor Kementerian ESDM pada Selasa (2/8).
Dadan mengaku pengembangan bioetanol lebih sulit daripada pengembangan biodiesel yang saat ini sudah mencapai B40. Alasan utamanya yakni belum tersedianya suplai bahan baku tetes tebu untuk menjamin keberlanjutan pasokan.
Tetes tebu, kata Dadan, saat ini masih digunakan sebagai bahan baku di industri pemanis dan menjadi komoditas ekspor. "Bahan bakunya tidak bisa dijamin karena jumlahnya gak banyak. Dia juga dibutuhkan di industri lain dan jadi komoditas ekspor juga. Kalau dipakai berlebih, bakal mengganggu untuk keperluan yang lain," ujarnya.
Walau begitu, pihaknya tetap mengupayakan agar pemanfaatan bioetanol bisa diwujudkan. Dadan mengatakan saat ini Kementerian ESDM telah menjalin komunikasi dengan dua pabrik bioetanol di daerah Malang dan Mojokerto.
"Kita ingin supaya tidak hanya solar saja yang ada campurannya, tapi bensin juga ada. Semoga nanti keekonomiannya bisa masuk," harap Dadan.
Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal EBTKE, Edi Wibowo, menyampaikan bahwa pabrik bioetanol yang berlokasi di Malang memiliki kapasitas produksi tahunan sejumlah 10.000 kilo liter (kl). Sementara pabrik yang terletak di Mojokerto mampu memproduksi bioetanol hingga 30.000 kl per tahun.
"Pabrik di Malang mereka produksi untuk industrial grade (suplai Industri). Sementara untuk fuel grade (bahan bakar kendaraan) untuk keperluan sendiri atau sesuai permintaan. karena suplai etanolnya juga terbatas, jadi belum bisa diimplementasikan secara nasional," jelas Edi.
Adapun bioetanol bisa digunakan pada moda transportasi darat berbahan bakar gasoline atau bensin. Edi menambahkan, saat ini ada dua lembaga yang fokus pada pengembangan bioetanol. Yakni Badan Usaha Bahan Bakar Minyak dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati. "Bioetanol bisa dicampur untuk bensin RON berapa saja," ujar Edi.
Pengembangan bioetanol diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015. Di sana, diatur penggunaan bioethanol E5 pada 2020 dan secara bertahap meningkat ke E20 pada 2025. Namun dalam perjalanannya, rencana tersebut menghadapi kendala.
Pemerintah akhirnya menurunkan kandungan etanol menjadi 2%. Setelah serangkaian uji coba dilakukan termasuk dengan Pertamina, penerapan E2 pun masih jauh dari harapan karena terkendala ongkos produksi yang masih tinggi, sehingga kehadiran etanol dinilai kurang kompetitif sebagai bahan bakar alternatif untuk kendaraan.