Aturan pendistribusian dan harga jual BBM bersubsidi Pertalite dan Solar bakal diatur dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) No.191 Tahun 2014. Aturan ini tinggal menanti tanda tangan Presiden Jokowi.
Dalam aturan itu, skema penyaluran BBM bersubsidi bakal diseleksi dari kapasitas mesin kendaraan atau CC. Ketetapan ini berbeda dari usulan sejumlah pakar ekonomi mengenai distribusi BBM Pertalite dan Solar hanya buat kendaraan umum dan sepeda motor.
Anggota Komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman, mengatakan teknis penyaluran BBM bersubsidi dengan menyeleksi kapasitas mesin kendaraan mengacu pada data yang dihimpun dari MyPertamina.
Kendaraan yang nantinya berhak untuk menerima jatah BBM bersubsidi adalah mobil yang memiliki kapasitas mesin di bawah 1.500 CC. Saleh mengatakan, keputusan tersebut masih menunggu pengesahan presiden. Sementara itu, motor yang berkapasitas mesin di atas 250 CC dilarang minum Pertalite.
"Masih (diatur pakai CC), tapi kami tunggu keputusan presiden. Apakah di bawah 1.400 CC atau 1.500 CC," kata Saleh melalui pesan singkat pada Kamis (1/9).
Informasi serupa juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan. Dari laporan yang dia terima, revisi Perpres No.191 Tahun 2014 akan mengatur pembatasan distribusi BBM bersubsidi dengan mengacu pada besaran kapasitas mesin kendaraan.
"Informasi yang saya terima tetap dilihat dari CC, sesuai dengan isu yang beredar. Alasannya karena sudah dilakukan pendataan dengan Aplikasi MyPertamina, jadi sayang kalau tidak diteruskan," kata Mamit saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Kamis (1/9).
Mamit menyayangkan kebijakan tersebut. Alasannya, banyak kendaraan mahal nan mewah yang saat ini memiliki kapasitas mesin di kisaran 1.500 CC atau di bawah 2.000 CC. "Itu sangat disayangkan. Pembatasan subsidi jadi tak berfungsi. Cerita lama akan berulang lagi ke depan," ujar Mamit.
Sebelumnya, Mamit mengatakan kriteria kendaraan penerima BBM bersubsidi yang dirumuskan dalam revisi Perpres 191 Tahun 2014 harus dipertegas pada aspek konsumsi untuk kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi.
Dia pun menilai pendataan kendaraan lewat MyPertamina kurang efektif sebagai basis penentu sasaran distribusi BBM bersubsidi. "Saya khawatir tidak akan jalan efektif, saya lebih memilih hanya untuk spesifikasi kendaraan-kendaraan yang untuk pembangunan ekonomi masyarakat," ujar Mamit.
Pakar Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan pemerintah harus menetapkan kriteria yang jelas dalam pembatasan BBM bersubsidi. Kriteria yang dimaksud adalah membagikan jatah BBM bersubsidi untuk sektor produktif seperi angkutan umum, nelayan, dan sepeda motor.
Fahmy menilai pembatasan BBM bersubsidi dengan menaikkan harga dan seleksi kapasitas mesin kendaraan melalui MyPertamina kurang adil. Kebijakan itu seperti mengulang kegagalan pembatasan BBM bersubsidi di masa lalu saat menggunakan kartu kendali maupun stiker elektronik.
Jalan terbaik untuk membatasi kebocoran subsidi BBM adalah mengerucutkan penyaluran BBM bersubsidi kepada kendaraan roda dua dan angkutan umum transportasi dan logistik plat kuning sembari melarang penjualan ke kendaraan pribadi. Fahmy mengatakan, seleksi BBM bersubsidi lewat skema pendataan kapasitas mesin sulit untuk dipantau dan membuka celah ketidakadilan.
Dia mencontohkan, saat ini sudah banyak mobil mewah yang memiliki kapasitas mesin di bawah 1.500 CC. Sementara itu masih banyak warga kelas menangah ke bawah yang punya mobil lawas dengan kapasitas mesin di atas 1.500 CC hingga 2.000 CC. Belum lagi ada warga yang memiliki lebih dari satu mobil berkapasitas 1.500 CC.
"Kalau gitu, banyak mobil mewah yang berhak memperoleh Pertalite. Ini tidak adil, opsi yang paling mudah saat ini adalah menetapkan yang berhak membeli BBM bersubsidi adalah pemilik sepeda motor dan angkutan umum. Ini harus segera disahkan di revisi Perpres 191 tahun 2014," kata Fahmy.