Harga minyak dunia kembali melanjutkan tren penurunan lebih dari 3% pada perdagangan Jumat pagi ini (2/9). Pelemahan tersebut dipicu oleh menguatnya dolar Amerika Serikat dan kebijakan karantina wilayah ketat di Cina untuk mencegah penyebaran pandemi virus Corona.
Di sisi lain, harga minyak kian tertekan seiring dengan meningkatnya kekhawatiran inflasi yang tinggi dan kenaikan suku bunga akan mengurangi permintaan bahan bakar. Selain itu, negara-negara yang tergabung dalam kelompok G7 juga belum mencapai kesepakatan mengenai pembatasan harga minyak dari Rusia.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober kehilangan US$ 2,94 atau 3,3% menjadi US$ 86,61 per barel di New York Mercantile Exchange. Sedangkan minyak mentah berjangka jenis Brent untuk pengiriman November jatuh US$ 3,28 atau 3,4%, menjadi US$ 92,36 per barel di London ICE Futures Exchange.
Kekhawatiran bahwa ekonomi global yang melambat akan mengurangi permintaan bahan bakar terus membebani pasar. Hal ini terindikasi dari aktivitas pabrik di Asia yang merosot pada Agustus karena pembatasan nol-Covid di Cina dan tekanan biaya.
Pusat teknologi Cina Selatan, Shenzhen, memperketat pembatasan Covid-19 karena kasus terus meningkat. Acara besar dan hiburan dalam ruangan ditangguhkan selama tiga hari di distrik terpadat di kota itu, Baoan.
Seperti dikutip dari Antara, kenaikan tajam dalam dolar AS juga menghadirkan hambatan. Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama, melonjak 0,92 persen menjadi 109,6930 pada akhir perdagangan Kamis (1/9/2022). Secara historis, harga minyak berbanding terbalik dengan harga dolar AS.
Indeks dolar mencapai level tertinggi 20 tahun setelah data AS menunjukkan ekonomi yang kuat, memberi Federal Reserve lebih banyak ruang untuk menaikkan suku bunga. Greenback yang lebih kuat membuat minyak yang dihargakan dalam dolar lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.
"China melakukan putaran penguncian Covid lainnya di terminal ekspor utama," kata Dennis Kissler, wakil presiden senior perdagangan di BOK Financial seperti dikutip Reuters, yang bersama dengan "dolar AS yang sangat kuat menyebabkan likuidasi dana lebih lanjut dalam minyak mentah berjangka,"
Pedagang juga mencerna data stok bahan bakar AS. Badan Informasi Energi AS melaporkan Rabu (31/8/2022) bahwa persediaan minyak mentah negara itu turun 3,3 juta barel selama pekan yang berakhir 26 Agustus. Analis yang disurvei oleh S&P Global Commodity Insights memperkirakan penurunan 1,9 juta barel dalam pasokan minyak mentah AS.
Di sisi lain, menurut laporan Oil Price, Kamis kemarin harga minyak jatuh lebih dari 3% disebabkan karena negara-negara G7 menunda kesepakatan mengenai pembatasan harga minyak Rusia.
"Rusia akhirnya keluar dan secara terbuka menyatakan bahwa harga minyaknya akan mahal bagi pasar energi," tulis laporan itu.
Dalam pernyataan hari Kamis yang dimuat Kommersant.ru, Rusia mengatakan tidak akan memasok minyak ke negara-negara yang memutuskan untuk mengenakan batasan harga pada minyaknya.
“Kami hanya untuk perusahaan atau negara seperti itu yang akan memberlakukan pembatasan, tidak akan memasok mereka dengan minyak dan produk minyak, karena kami tidak akan bekerja dalam kondisi non-pasar,” kata Wakil Perdana Menteri Rusia, Yuri Borisov.