APNI: Proyek Hilirisasi Tak Terganggu Meski RI Kalah di WTO Soal Nikel

ANTARA FOTO/Jojon/aww.
Aktivitas tungku smelter nikel di PT VDNI di kawasan industri di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara, Jumat (9/9/2022).
12/9/2022, 18.19 WIB

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia atau APNI mengatakan proyek hilirisasi nikel di Indonesia tak akan berhenti sekalipun Indonesia kalah dalam gugatan yang dilayangkan Uni Eropa (UE) di forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas kebijakan pemerintah yang melarang ekspor bijih nikel.

Hal tersebut dikarenakan sudah ada 31 smelter yang mengolah bijih nikel menjadi Nickel Pig Iron atau NPI. "Kondisi saat ini tidak terlalu berpengaruh ya, tentu saja pelaku tambang bertanya-tanya, kalau kalah perusahaan boleh ekspor lagi," kata Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey kepada Katadata.co.id, dikutip Senin (12/9).

Meidy menambahkan, selain ada 31 pabrik olahan yang sudah berproduksi, masih ada 50 smelter yang sedang dalam proses konstruksi dan perencanaan serta pengurusan perizinan.

Dia menyebut, bakal ada 81 pabrik olahan nikel sampai tahun 2025 yang akan mengkonsumsi 250 juta ton bijih nikel. "Kebutuhan bijih nikel tahun 2022 sekitar 120 juta ton," sambungnya.

Meidy menyebut, satu-satunya ancaman yang menghantui apabila Indonesia kalah dalam gugatan dan diwajibkan untuk membuka pintu ekspor adalah minimnya pasokan nikel untuk smelter-smelter yang sudah berdiri.

"Yang ada saat ini saja kami ragu akan ketahanan cadangan bijih nikel untuk menutupi kebutuhan pabrik-pabrik yang sudah berdiri. Kalau Indonesia kalah dan diwajibkan ekspor lagi ya tambah kurang lagi kebutuhan untuk menutup kebutuhan dalam negeri," ujar Meidy.

Jika itu terjadi, Dia memproyeksi industri nikel domestik hanya akan tahan hingga 7 sampai 8 tahun jika Indonesia kalah dan terikat dengan kewajibkan ekpor nikel. "Nikel ini kan gak beranak ya, jadi sekali digali habis," ucap Meidy.

Menurutnya, jika ekpor bijih nikel dibuka kembali, maka harus dibatasi kadar bijih nikel maksimal 1.6%. Hal ini dirasa bisa menjadi pembanding harga untuk pabrik lokal yang masih begitu menguasai harga atau pembelian bijih nikel.

"Harga international untuk bijih Nikel 1,8% September US$ 102.50 per wmt, sedangkan harga HPM bijih nikel 1,8% hanya US$ 49.04 per wmt," kata Meidy.

APNI berharap, pemerintah bisa berupaya keras untuk mempertahankan kebijakan larangan ekspor nikel demi mendukung proyek hilirisasi. Menurutnya, Indonesia masih punya peluang banding apabila pemerintah dinyatakan kalah di WTO.

Di samping itu, pemerintah harus segera membuat aturan yang tegas agar industri hilirisasi tetap terus berjalan. "Kalaupun Indonesia kalah, ajukan banding. Dan kalaupun harus buka ekspor, pemerintah tentu akan membuat aturan-aturan yang mengatur larangan ekspor. Itu hak negara kita," ujarnya.

Dia mengatakan, sumber daya alam harus dikuasai perusahaan Indonesia atau perusahaan daerah, bukan asing. "Asing cukup di hilirisasi tapi di hulu itu harus diserahkan kepada perusahaan nasional atau lokal," kata Meidy.

Seperti yang diberitakan sebelumnya, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia tak ambil pusing perihal kemungkinan Indonesia kalah dalam gugatan yang dilayangkan Uni Eropa di forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas kebijakan pemerintah yang menghentikan ekspor bijih nikel.

Ditemui wartawan di Gedung Nusantara I usai rapat dengar pendapat dengan Komisi VI, Bahlil mengatakan Indonesia harus tetap berdaulat demi proyek hilirisasi nikel.

"Tak ada masalah kalau Eropa menang, kita buat aturan baru lagi, yang jelas kita buat kebijakan untuk melakukan hilirisasi yang maksimal di Indonesia," kata Bahlil pada Kamis (8/9).

Bahlil menambahkan, hal tersebut juga tak akan berpengaruh besar kepada rencana pemerintah yang sedang merintis industri baterai dan kendaraan listrik. Dia juga meminta kepada sejumlah negara penggugat untuk bisa menghargai perencanaan pengembangan ekonomi di masing-masing negara.

"Harusnya semua negara menghargai kedaulatan masing-masing negara dan harus menghargai perencanaan pengembangan ekonomi dari masing-masing negara," sambungnya. "Gak boleh lagi ada negara yang merasa hebat dibanding negara lain."

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu