Presiden Rusia Vladimir Putin membantah tudingan bahwa negaranya ada hubungannya dengan krisis energi yang terjadi di Eropa saat ini. Menurutnya, agenda hijau kawasan tersebut sebagai penyebab krisis energi.
Putin pun mengatakan bahwa jika Eropa menginginkan lebih banyak gas dikirimkan dari Rusia, maka Eropa hanya perlu mencabut sanksi terhadap proyek pipa gas Nord Stream 2 yang dibekukan Jerman sebelum Rusia menginvasi Ukraina.
“Intinya, jika Anda (Eropa) memiliki kebutuhan, dan itu sangat sulit bagi Anda, cabut saja sanksi pada Nord Stream 2 yang dapat mengalirkan 55 miliar meter kubik gas per tahun. Tekan saja tombolnya dan semua akan berjalan,” kata Putin seperti dikutip dari Reuters pada Minggu (18/9).
Nord Stream 2, yang terletak di dasar Laut Baltik hampir sejajar dengan Nord Stream 1. Jalur pipa ini dibangun setahun yang lalu namun dibekukan oleh Jerman hanya beberapa hari sebelum Rusia mengirim pasukannya ke Ukraina pada 24 Februari.
Harga gas Eropa naik lebih dari dua kali lipat dari awal tahun di tengah penurunan pasokan Rusia. Lonjakan harga tahun ini telah menekan konsumen yang sudah berjuang dan memaksa beberapa industri untuk menghentikan produksi.
Eropa menuduh Rusia menggunakan pasokan energi sebagai senjata ekonomi untuk membalas sanksi Barat yang dijatuhkan pada Moskow atas invasinya ke Ukraina. Rusia mengatakan Barat telah melancarkan perang ekonomi dan sanksi telah menghambat operasi pipa Nord Stream 1.
Rusia telah memotong pasokan gas ke beberapa negara, termasuk Bulgaria dan Polandia, karena mereka menolak untuk membayar dalam rubel daripada mata uang kontrak.
Raksasa gas milik negara Rusia, Gazprom juga mengatakan awal bulan ini pipa Nord Stream 1, rute pasokan utama Eropa, akan tetap ditutup karena turbin di stasiun kompresor mengalami kebocoran oli mesin, menyebabkan harga gas grosir melonjak.
Sebelumnya Gazprom telah menurunkan volume gas yang dikirimkan melalui jalur ini menjadi hanya 20% dari kapasitas penuhnya karena sanksi yang dijatuhkan oleh negara barat telah menghambat proses pengembalian turbin yang telah selesai diperbaiki di Kanada.
Dalam 100 hari pertama invasinya ke Ukraina, Rusia telah mengantongi pendapatan dari ekspor energi fosil sebesar € 93 miliar atau sekitar Rp 1,42 kuadriliun (asumsi kurs Rp 15.322 per euro).
Pendapatan tersebut dinilai sudah melampaui kebutuhan pembiayaan militer Rusia sepanjang 100 hari pertama perang, yang totalnya diperkirakan berjumlah € 84 miliar.
Hal ini diungkapkan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), lembaga riset asal Finlandia. "Pendapatan dari ekspor bahan bakar fosil menjadi pendukung utama pembiayaan militer dan agresi brutal Rusia terhadap Ukraina," tegas CREA dalam situs resminya.
Adapun sejak awal perang sampai 11 Juli 2022 Jerman tercatat sebagai negara pembeli gas bumi utama dari Rusia, dengan kontribusi nilai pembelian yang sangat besar.