Harga Minyak Naik 4,4% ke US$ 88,92, Akhir Tahun Diramal Capai US$ 100

ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar
Petugas memeriksa pengoperasian Rig (alat pengebor) elektrik D-1500E di Daerah operasi pengeboran sumur JST-A2 Pertamina EP Asset 3, Desa kalentambo, Pusakanagara, Subang, Jawa Barat, Selasa (4/2/2020).
Penulis: Happy Fajrian
29/9/2022, 11.15 WIB

Harga minyak melonjak pada hari Rabu (28/9) atau Kamis (29/9) pagi waktu Indonesia, dengan Brent naik lebih dari 3% dan WTI naik hampir 4%. Sejumlah analis energi memprediksi harga minyak naik hingga ke US$ 100 per barel dalam beberapa bulan ke depan.

Adapun Kenaikan harga minyak pada Rabu terjadi tak lama setelah Administrasi Informasi Energi (EIA) Amerika Serikat (AS) melaporkan penarikan yang signifikan dalam persediaan minyak mentah AS dan stok gas alam.

Juga berkontribusi terhadap lonjakan harga minyak adalah laju penguatan dolar AS yang mereda, serta sekitar 11% dari produksi minyak hilang di di Teluk Meksiko karena Badai Ian menuju pantai Florida, AS.

Saat ini harga minyak mentah Brent diperdagangkan pada US$ 89,01 per barel, naik US$ 2,74 atau 3,17%. Sementara WTI diperdagangkan pada US$ 81,96, naik US$ 3,46 atau naik 4,44%.

Penguatan minyak pada Rabu memangkas kerugian signifikan pekan lalu, ketika harga turun ke level terendah sejak Januari dipicu kenaikan suku bunga bank sentral global dan kekhawatiran resesi.

Goldman Sachs memproyeksikan harga minyak mentah Brent naik ke level US$ 100 per barel selama tiga bulan terakhir tahun ini. Meski masih tinggi, proyeksi ini turun dari perkiraan sebelumnya sebesar US$ 125 per barel, yang juga turun dari perkiraan lainnya US$ 130 per barel.

Untuk tahun depan, Goldman melihat Brent rata-rata kemungkinan US$ 108 per barel, juga turun dari prediksi sebelumnya US$ 125 per barel.

Goldman mengatakan tetap bullish, mengantisipasi bahwa harga minyak kemungkinan akan naik dari level saat ini mengingat keadaan pasar yang masih sangat ketat. Mereka mengutip dolar yang kuat dan perkiraan permintaan yang melemah, yang akan tetap menjadi hambatan kuat terhadap harga hingga akhir tahun.

“Namun, pengaturan pasokan bullish struktural - karena kurangnya investasi, kapasitas cadangan yang rendah dan inventaris - hanya tumbuh lebih kuat, pasti membutuhkan harga yang jauh lebih tinggi,” kata Analis Goldman Sachs Damien Courvalin dan Callum Bruce dalam sebuah catatan seperti dikutip Reuters.

Sebelumnya, EIA melaporkan penarikan persediaan minyak mentah sebesar 200.000 barel untuk minggu hingga 23 September. Minggu sebelumnya telah melihat peningkatan 1,1 juta barel pada persediaan.

Penarikan kejutan pada Rabu datang setelah American Petroleum Institute (API) memperkirakan peningkatan 4,15 juta barel untuk pekan hingga 23 September, membuat pasar lengah.

Dalam jajak pendapat Fed Dallas yang dirilis pada hari Rabu, para eksekutif minyak dan gas mengurangi ekspektasi harga minyak akhir tahun mereka, menjatuhkan mereka dari rata-rata US$ 107,93 kuartal terakhir menjadi US$ 88,74 per barel dalam survei terbaru.

Para eksekutif yang paling pesimis memperkirakan US$ 65 per barel, seperti yang mereka lakukan pada kuartal terakhir, sementara bulls telah mengurangi harga high-end mereka dari US$ 160 per barel menjadi US$ 120 per barel.