OPEC+ mengumumkan pengurangan produksi minyak sebesar 2 juta barel per hari (bph) untuk November, tepat menjelang puncak musim dingin dan embargo Uni Eropa terhadap minyak mentah Rusia. Langkah tersebut berpotensi melambungkan harga minyak dan inflasi di dunia.
Harga minyak mentah Brent pekan ini telah melonjak kembali ke level tertinggi dalam tiga pekan terakhir di US$ 93,49 per barel. Sementara West Texas Intermediate (WTI) bertengger di level US$ 87,62 setelah sebelumnya sempat turun di bawah US$ 80.
"Kami prihatin dengan kebangkitan harga minyak internasional, yang telah menunjukkan beberapa tanda-tanda mereda sejak kuartal kedua," kata juru bicara SK Energy, penyulingan terbesar Korea Selatan, kepada Reuters pada Rabu (6/10).
Langkah OPEC+ memicu kekhawatiran dari pasar negara berkembang yang mengimpor minyak, beberapa di antaranya menjadi sangat rentan terhadap guncangan harga di tengah hambatan pasokan global.
Sri Lanka sedang berjuang melawan krisis ekonomi terburuknya sejak kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948. Dengan anjloknya mata uang, inflasi di Sri Lanka menjadi tak terkendali sehingga menghambat impor makanan, bahan bakar dan obat-obatan.
Presiden Ranil Wickremesinghe memperingatkan Sri Lanka harus membayar lebih untuk bahan bakar karena negara-negara kaya menimbun kebutuhan mereka sendiri.
"Ini bukan hanya masalah yang dihadapi oleh kami tetapi beberapa negara Asia Selatan lainnya," katanya kepada parlemen, Kamis. "Inflasi global akan melanda kita semua tahun depan."
Para pelaku industri menilai, peristiwa ini akan mendorong harga spot lebih tinggi, terutama untuk minyak Timur Tengah yang memenuhi sekitar dua pertiga dari permintaan Asia. Sumber SK Energy mengatakan pengurangan pasokan dapat mendorong harga kembali ke level yang dicapai pada kuartal II tahun ini.
Korea Selatan telah merasakan biaya penyulingan minyak meroket karena melonjaknya harga komoditas. Brent mencapai US$ 139,13 per barel pada Maret, tertinggi sejak 2008, setelah perang Ukraina memicu kekhawatiran hilangnya pasokan minyak Rusia karena sanksi.
Pelaku industri memperkirakan hilangnya minyak mentah Rusia antara 1 hingga 2 juta barel per hari bergantung pada bagaimana Moskow bereaksi terhadap batas harga G7 pada minyak Rusia. Kebijakan itu bertujuan untuk memastikan minyak Rusia terus mengalir ke negara-negara berkembang tetapi dengan harga yang lebih rendah sebagai langkah untuk mengurangi pendapatan Moskow.
"Pasar masih underpricing kerugian yang sebenarnya," kata seorang pedagang minyak mentah yang berbasis di Singapura yang menolak disebutkan namanya karena kebijakan perusahaan.
Menteri Energi Arab Saudi, Abdulaziz bin Salman mengatakan pengurangan pasokan minyak secara riil sekitar 1 juta hingga 1,1 juta barel per hari. Tindakan ini sebagai respons terhadap kenaikan suku bunga global dan melemahnya ekonomi dunia.
Langkah itu memicu respons tajam dari Washington, yang menyebut kesepakatan OPEC+ sebagai pandangan picik. Gedung Putih mengatakan Presiden Joe Biden akan terus menilai apakah akan merilis stok minyak strategis lebih lanjut untuk menurunkan harga minyak.
"Saudi, UEA (Uni Emirat Arab) dan Kuwait kemungkinan akan menanggung sebagian besar beban pemangkasan," kata Tilak Doshi, direktur pelaksana Doshi Consulting, yang sebelumnya bekerja di Saudi Aramco.
"Ini tamparan di wajah Biden oleh OPEC+," katanya, seraya menambahkan bahwa hubungan antara Rusia dan Saudi tampaknya semakin erat.