Kementerian ESDM menyampaikan pasokan listrik di sistem Jawa, Bali, dan Madura (Jamali) tak akan terganggu meski ada dua proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang tersendat pada tahun ini.
Hal tersebut disebabkan karena adanya kelebihan pasokan listrik atau oversupply di wilayah Jamali mencapai 6 giga watt (GW). "Aman, andal dan cukup bahkan untuk sistem Jamali saat ini kelebihan kapasitas," kata Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Wanhar kepada Katadata.co.id, Senin (17/10).
Rencana pembangunan PLTU Indramayu Jawa Barat berkapasitas 2 x 1.000 megawatt (MW) batal karena Japan International Cooperation Agency atau JICA menghentikan permberian pinjaman kepada Indonesia pada Juni lalu.
Sementara pembangunan PLTU Tanjung Jati A berkapasitas 2 x 660 MW di Desa Pengarengan, Cirebon, Jawa Barat dihentikan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung pada 13 Oktober karena persoalan izin lingkungan.
Melihat persoalan tersebut, Wanhar mengatakan bahwa PLTU Indramayu yang memiliki nilai proyek investasi sekira Rp 50 triliun tersebut sudah tidak masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2021-2030.
Sementara untuk PLTU Tanjung Jati A, Wanhar mengaku belum bisa bicara banyak karena masih menunggu keputusan hukum lebih lanjut. "Untuk PLTU Indramayu memang sudah tidak akan dilanjutkan di RUPTL, sementara untuk PLTU Tanjung Jati A sudah di ranah hukum, jadi kami menunggu keputusan hukum," ujar Wanhar.
Pembiayaan Proyek Batu Bara Mengering
Keputusan Pemerintah Jepang untuk menghentikan proyek pendirian PLTU Indramayu dilakukan sebagai tanggapan atas kritik internasional terhadap PLTU yang berbahan bakar batu bara yang menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca. Selama ini, emisi rumah kaca merupakan salah satu penyebab terbesar dari pemanasan global.
"Kami memutuskan bahwa kami tidak dapat melanjutkan lebih jauh dengan kasus-kasus ini sebagai subjek pinjaman (mata uang) Yen," kata Sekretaris Pers Kementerian Luar Negeri Hikariko Ono pada konferensi pers, dikutip dari Nikkei Asia pada Kamis (23/6).
Selain institusi pemerintah, sejumlah bank internasional mulai menyetop pembiayaan ke perusahaan-perusahaan batu bara demi mendorong percepatan transisi energi. Langkah ini tetap ditempuh meski bisnis batu bara tengah kinclong seiring permintaan yang meningkat akibat krisis energi global.
Melansir laporan divestasi batu bara dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Coal Divestment, bank-bank internasional seperti Standard Chartered, DBS, OCBC, Sumitomo Mitsui (SMBC), dan CIMB telah menyatakan diri akan menghentikan pendanaan ke sejumlah industri mineral hitam.
Mengutip laporan yang ditulis oleh Capital Monitor pada 22 Juni 2022, salah satu perusahaan Indonesia yang dihentikan pendanaan batu baranya adalah Adaro Energy oleh Standard Chartered dan DBS.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, pendanaan dari perbankan saat ini memang kian seret seiring langkah bank-bank besar global. Padahal, menurut dia, permintaan terhadap batu bara saat ini meningkat dan mendorong harganya melonjak tajam akibat krisis energi di Eropa.
"Kami tidak pungkiri bahwa pendanaan berkurang, tetapi fakta menunjukkan bahwa dalam 6-7 tahun terakhir, produksi dan ekspor terus meningkat, kecuali saat pandemi Covid-19 pada 2020. Ini dua fakta yang sama-sama benar," kata Hendra saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Jumat (15/7).