Bahlil Optimistis Larangan Ekspor Timah Berdampak Positif Bagi Ekonomi

Biro Pers Sekretariat Presiden
Presiden Joko Widodo menyatakan akan melarang ekspor timah batangan untuk mendorong hilirisasi saat meninjau pembangunan smelter baru yang dimiliki PT Timah Tbk di Kabupaten Bangka Barat, pada Kamis, (20/10/2022).
Penulis: Nadya Zahira
24/10/2022, 19.28 WIB

Pemerintah menyatakan akan menyetop ekspor timah dan lebih mengembangkan hilirisasi dalam negeri. Dengan demikian, Indonesia bisa mendapat 'durian runtuh' dari produksi timah yang dinilai terbesar kedua di dunia setelah Cina.

"Kami sudah hitung bahwa hilirisasi terhadap timah akan memberikan dampak positif bagi pembangunan nasional. Kita menyetop ini (ekspor timah) dalam rangka memberikan nilai tambah," kata Menteri Investasi Bahlil Lahadalia di Gedung Kementerian Investasi, Jakarta Selatan, pada Senin (24/10).

Menurut dia, harga timah saat ini dikendalikan oleh negara-negara penghasil timah, yang produksinya tidak sebesar Indonesia yang merupakan penghasil terbesar ke dua di dunia setelah Cina. "Cina 70% melakukan hilirisasi. Indonesia cuma 5%," ujarnya.

Bahlil mengatakan bahwa kebijakan untuk menghentikan ekspor timah ini mendapat perlawanan dari banyak pihak. "Aku tahu banyak yang tidak setuju, aku tahu siapa saja pemain-pemainnya, tapi negara Indonesia tidak akan gemetar sedikit pun. Mau sampai kapan negara kita akan dimainkan?," ujarnya.

Dia juga mengatakan bahwa penyetopan ekspor timah ini lebih cepat akan lebih baik. Namun dalam hal ini, dia belum bisa menyampaikan detail kapan waktu penyetopan ekspor timah akan dijalankan.

Selain itu, Bahlil juga mengatakan bahwa hilirisasi timah berbeda dengan nikel. Industri timah investasi yang dihasilkan tidak terlalu besar. Paling tinggi investasinya hanya mencapai Rp 1 triliun.

"Hilirisasi timah tidak terlalu tinggi, paling tinggi cuma Rp 1 triliun. Kalau nikel satu tungkunya saja sudah US$ 200 juta, itu berpuluh-puluh kali lipat. Kalau timah tidak, dan teknologinya tidak besar," ujar Bahlil.

Hilirisasi timah dilakukan untuk mengikuti kesuksesan hilirisasi nikel. Bahlil mengatakan, Indonesia mendapatkan nilai tambah dari ekspor nikel yang sudah dihilirisasi pada 2021 mencapai sebesar US$ 20,9 miliar. "(Periode) 2017-2018 itu (ekspor bijih nikel) RI hanya dapat US$ 3,3 miliar. Kita ditakut-takuti waktu itu," ujarnya.

Bahlil menjelaskan, hilirisasi timah merupakan langkah yang penting untuk membuka lapangan pekerjaan. Selain itu, menurutnya, hilirisasi timah dapat menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru selain di Pulau Jawa.

Dia berpendapat pemerintah perlu segera menciptakan lapangan kerja mengingat angkatan kerja di dalam negeri yang cukup banyak. Dia menghitung angkatan kerja saat ini mencapai 9,9 juta kerja, yakni 7 juta orang di daerah dan 2,9 juta orang akibat pandemi Covid-19.

Oleh karena itu, Bahlil menghimbau masyarakat, khususnya mahasiswa, memanfaatkan program hilirisasi tersebut untuk menciptakan lapangan kerja baru. Bahlil mendorong agar lulusan baru perguruan tinggi tidak menjadi aparatur sipil negara pada masa depan.

"Semua pekerjaan itu hanya menyerap 1 juta orang. Ini masalah besar. Kalau tidak diciptakan lapangan kerja baru, seluruh kampus akan jadi pabrik pengangguran intelektual," ujar Bahlil.

Sebelumnya, dia mengatakan telah mendorong pelaku industri timah eksisting untuk membangun fasilitas produksi hilirisasi. Pasalnya, pemerintah mulai melakukan penataan ekspor timah batangan pada tahun depan.

Bahlil mengatakan, sejauh ini ada dua skema yang diterapkan dalam penataan ekspor timah pada 2023. Pertama, orang yang bisa mengekspor timah adalah pelaku usaha yang telah memiliki fasilitas peleburan atau smelter timah.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan pihaknya masih melakukan perhitungan dan pengkajian yang mendalam soal rencana pelarangan ekspor timah. Larangan itu bisa diberlakukan tahun ini, maupun tahun depan.

"Baru dihitung. Akan kita setop kapan baru kita hitung. Nanti kalau sudah hitungannya matang, baru akan saya umumkan. Setop misalnya bisa tahun depan atau stop tahun ini juga bisa terjadi," ujar Presiden berkunjung ke proyek smelter timah PT Timah, di Bangka Belitung, pada Kamis (20/10).

Reporter: Nadya Zahira