Pemerintah Mulai Ramu Regulasi Larangan Ekspor Bauksit, Timah, Tembaga

Katadata / Wahyu Dwi Jayanto
Ilustrasi tambang minerba.
7/11/2022, 16.47 WIB

Pemerintah tengah serius menggodok regulasi yang disiapkan untuk menjadi payung hukum dari kebijakan larangan ekspor komoditas mineral mentah seperti bauksit, timah, hingga tembaga, untuk mendorong hilirisasi ketiganya.

Langkah ini diharap bisa menyusul capaian positif berupa penambahan nilai jual produk olahan buah kebijakan larangan ekspor dan hilirisasi bijih nikel yang pertama kali diterapkan pada 2020.

Juru Bicara Badan Koordinasi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Tina Talisa, mengatakan bahwa pihaknya sedang menyusun pemetaan pohon industri dan peluang investasi hilirisasi komoditas yang akan diberlakukan larangan ekspor seperti timah, bauksit dan tembaga.

Dia pun menambahkan bahwa penyetopan larangan ekspor bauksit akan diberlakukan dalam waktu dekat. Kendati demikian, Tina Talisa tak merinci ihwal kapan larangan ekspor itu diberlakukan.

"Sesuai arahan Presiden, kebijakan larangan ekspor bauksit mentah akan diberlakukan dalam waktu dekat, dilanjutkan dengan larangan ekspor timah dan tembaga yang saat ini sedang dikaji kebijakannya oleh pemerintah," ujarnya kepada Katadata.co.id, Senin (7/11).

Sejauh ini, kesuksesan hilirisasi bijih nikel di dalam negeri disebut hadir dari hasil kerja sama Pemerintah Indonesia dengan Cina, lewat pembangunan beberapa kawasan industri dan pabrik pengolahan mineral atau smelter.

Adapun perusahan Cina yang terjun ke sektor pengolahan nikel diantaranya PT Bintang Delapan Mineral, PT Virtue Dragon Nickel Industry, dan Jiangsu Delong Nickel Industry Company Limited.

Walau kerja sama pemerintah dan Cina di sektor pengolahan hasil tambang terus mengamali tren positif, Tina mengatakan Pemerintah Indonesia tidak memberikan prioritas terhadap satu negara tertentu untuk berinvestasi.

Menurutnya, pemerintah terbuka kepada seluruh negara yang ingin menanamkan modalnya di Tanah Air. Baik itu invetasi pada pengembangan kawasan industri maupun pendanaan pada pembangunan smelter.

"Semua negara yang berminat berinvestasi pada bidang smelter untuk mendukung hilirisasi akan mendapatkan perlakuan yang sama sesuai peraturan perundangan yang berlaku," ujar Tina.

Sebelumnya diberitakan, Menteri Koordinator Bidang Investasi dan Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan kerja sama dengan Cina selama delapan tahun terakhir memberikan kontribusi yang positif melalui pembangunan beberapa pusat industri yang terintegrasi seperti di Morowali hingga kawasan industri Bintan.

“Saya kira kerja sama Indonesia dengan Tiongkok selama delapan tahun terakhir langsung menghasilkan banyak sekali kemajuan yang menurut saya luar biasa,” kata Luhut di sela acara Laporan Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Tiongkok di Indonesia yang diselenggarakan di Hotel Raffles Jakarta pada Jumat (28/10).

Kebijakan larangan ekspor dan hilirisasi bijih nikel yang pertama kali diterapkan sejak 2020 berimplikasi pada penambahan nilai jual pada produk olahan bijih nikel. Produksi dan penjualan produk turunan juga memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan pajak dan devisa Indonesia.

Pada 2019, nilai bijih ekpor bijih nikel mentah hanya US$ 30 per ton, sedangkan nilai feronikel yang diproses melalui pemurnian mencapai US$ 1.300 per ton dan setelah diolah menjadi baja tahan karat menjadi US$ 2.300 per ton. Nilai ekspor nikel yang telah diolah menjadi US$ 20,9 miliar atau Rp 360 triliun pada 2021.

“Sekarang ekonomi Indonesia bisa terus tertopang karena hilirisasi tadi, padahal itu baru bijih nikel saja. Sekarang kita lagi bicara sama teman-teman dari Tiongkok untuk terkait hilirisasi timah, bauksit, tembaga,” ujar Luhut.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu