Kurangnya suplai bahan baku serta insentif pendanaan menjadi kendala pemerintah dalam mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) bioetanol. Kementerian ESDM mengatakan bahan baku yang ada saat ini hanya cukup menjadi bahan campuran atas 0,1% konsumsi bensin nasional.
Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Edi Wibowo, menyampaikan bahwa sejauh ini produksi bioetanol untuk bahan bakar kendaraan atau fuel grade di dalam negeri baru mencapai 40.000 kilo liter (KL).
Produksi tersebut berasal dari dua pabrik di wilayah Jawa Timur, yakni 30.000 KL dari PT Energi Agro Nusantara (Enero) di Kabupaten Mojokerto dan 10.000 kl dari PT Molindo Raya Industrial di Kabupaten Malang.
"Mudah-mudahan kita menuju ke E5 dulu, kira-kira cukup karena ketersediaan bahan baku baru segitu," kata Edi saat ditemui di Kantor Lemigas Jakarta pada Senin (21/11).
Edi menjelaskan, bahwa seluruh produksi 40.000 kl bioetanol tersebut hanya cukup untuk menjadi bahan baku campuran bensin sejumlah 0,1% dari konsumsi bensin nasional yang mencapai rata-rata 40 juta KL per tahun.
"Konsumsi nasional bensin kita kan rata-rata 40 juta KL per tahun, jadi produksi bioetanol saat ini hanya cukup 0,1% dari kapastias nasional," ujar Edi. Simak produksi BBN atau biofuel Indonesia pada databoks berikut:
Ihwal pengembangan dan produksi bioetaol, Edi menyebut pemerintah belum mengatur insentif selayaknya pengembangan biodiesel yang kini menuju pada aplikasi B40 lewat pendanaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Kondisi tersebut berdampak pada ongkos produksi yang masih tinggi, sehingga kehadiran etanol dinilai kurang kompetitif sebagai bahan bakar alternatif untuk kendaraan.
"Masalah harga juga, karena kebetulan pengembangan bioetanol itu tidak ada intensif seperti biodiesel, mekanisme APBN juga gak ada, kalau biodiesel masih ada dari dana sawit," jelas Edi.
Sebelumnya diberitakan, Direktur Jenderal EBTKE Dadan Kusdiana, mengaku pengembangan bioetanol lebih sulit daripada pengembangan biodiesel yang saat ini sudah mencapai B40. Alasan utamanya yakni belum tersedianya suplai bahan baku tetes tebu untuk menjamin keberlanjutan pasokan.
Tetes tebu, kata Dadan, saat ini masih digunakan sebagai bahan baku di industri pemanis dan menjadi komoditas ekspor.
"Bahan bakunya tidak bisa dijamin karena jumlahnya gak banyak. Dia juga dibutuhkan di industri lain dan jadi komoditas ekspor juga. Kalau dipakai berlebih, bakal mengganggu untuk keperluan yang lain," ujar Dadan di Kantor Kementerian ESDM pada Selasa (2/8).