PTBA Belum Beri Kepastian Akuisisi PLTU Pelabuhan Ratu Milik PLN

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Seorang pekerja melintas di proyek program 35.000 MW di lokasi proyek PLTU Lontar, Balaraja, Banten (29/3). PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN menargetkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 7 bisa beroperasi secara komersial (Commercial on Date/COD) pada Oktober 2019, atau lebih cepat enam bulan PLN mengestimasi penghematan biaya sebesar Rp 1 triliun.
6/12/2022, 19.42 WIB

Perusahaan tambang pelat merah PT Bukit Asam atau PTBA belum memberi kepastian ihwal kelanjutan akuisisi pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batu bara Pelabuhan Ratu milik PLN sebagai bagian dari upaya pensiun dini.

Direktur Utama PTBA, Arsal Ismail mengatakan sejauh ini perseroan masih berupaya untuk melakukan proses due diligence atau uji tuntas bersama PLN. "Nanti kami akan komunikasi dengan PLN dan pihak-pihak terkait," kata Arsal saat ditemui di Gedung Nusantara I DPR, Selasa (6/12).

Saat ditanya perihal kelanjutan pengambilalihan aset PLTU Pelabuhan Ratu dari PLN, Arsal mengatakan perusahaan masih perlu melakukan kajian uji tuntas sebelum mengakuisisi PLTU berkapasitas 3 x 350 megawatt tersebut. "Nanti, kami akan ambil kajian dulu," ujar Arsal.

PTBA telah meneken perjanjian untuk mengakuisisi mayoritas saham Pembangkit Listrik PLTU Pelabuhan Ratu, senilai US$ 800 juta atau Rp 12 triliun. Hal itu disepakati dalam bentuk principal framework agreement pada Konferensi Pers SOE Conference pertengahan Oktober lalu.

Rencananya, PTBA dan anak usaha PLN, yakni PT PLN Indonesia Power akan membentuk anak usaha untuk mengelola PLTU Pelabuhan Ratu. Mayoritas saham akan dimiliki PTBA, meski belum ditetapkan jumlahnya.

Wakil Menteri BUMN, Pahala Mansury mengatakan kerja sama antara kedua BUMN tersebut bertujuan untuk mempensiunkan PLTU Pelabuhan Ratu lebih cepat. PTBA nantinya akan mengambil alih mayoritas saham PLTU Pelabuhan Ratu.

"Ini menjadi model bagaimana keseriusan BUMN, memastikan kami siap memasuki transisi energi," ujar Pahala.

Adapun langkah akuisisi PLTU Pelabuhan Ratu menuai kritik karena dianggap tak menjamin pelaksanaan phase out atau pensiun secara bertahap. Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov menilai alih aset tersebut juga berpotensi melepas kontrol PLN dalam penentuan perjanjian pembelian tenaga listrik, atau Power Purchase Agreement (PPA) dengan Pengembang Listrik Swasta.

Peralihan aset PLTU tersebut menyebabkan PLN tak lagi bisa mengintervensi PPA, yang dapat berdampak pada meningkatnya biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik. "Khawatirnya ini akan jadi serangan balik bagi PLN karena sudah tidak punya kontrol terhadap kontak dan BPP," kata Abra saat dihubungi Katadata.co.id, Kamis (20/10).

Abra melanjutkan, dampaknya akan negatif apabila kontrak PPA mengatur pembelian listrik menggunakan mekanisme take or pay, antara PLN dan perusahaan pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP). Dalam skema take or pay, PLN wajib membayar kontrak listrik dari IPP meski listrik yang dihasilkan dalam kondisi tidak terpakai.

"Ini akan jadi potensi tambahan beban bagi PLN dan tak ada jaminan pemangkasan operasional PLTU dari 24 tahun menjadi 15 tahun," ujarnya.

 

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu