Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) menilai positif usulan Kementerian ESDM untuk menghapus pajak penghasilan (PPh) sekaligus pajak pertambahan nilai (PPN) di sektor hulu migas. Usulan tersebut akan dimasukkan dalam revisi UU Migas (RUU Migas).
Direktur Eksekutif Aspermigas, Moshe Rizal mengatakan bahwa penarikan pajak di industri hulu migas merupakan yang terbesar ketimbang pungutan pajak di industri lainnya. Menurut Moshe, pajak yang harus disetor oleh pelaku usaha industri migas mencapai 40% dari total pendapatan.
"Lebih dari 40% kalau ditotal semuanya. Ada PPN, PPh, PBB, branch profit tax. Jadi besar sekali dan itu sangat memengaruhi keekonomian," kata Moshe kepada Katadata.co.id, Rabu (14/12).
Moshe menambahkan, wacana penghapusan PPN dan PPh di sektor invetasi hulu migas bisa mendorong keekonomian lapangan ke arah yang lebih positif. Penilaian itu didasari oleh kondisi biaya operasional industri migas RI yang lebih mahal ketimbang biaya operasional di negara lain.
Hal ini, ujar Moshe, disebabkan oleh kendala infrastruktur, beban pajak, dan kondisi lapangan migas yang mulai mengalami penurunan produksi serta penemuan lapangan yang kian mengarah pada medan-medan sulit seperti daerah lepas pantai atau offshore.
"Biaya produksi migas di dalam negeri ini cukup tinggi, maka harga gas-nya juga tinggi. Jadi susah bersaing di pasar global. Bukan cuma masalah regulasi dan perizinan, di sini juga ada masalah biaya operasional," ujarnya.
Selain pembebasan PPN dan PPh, Moshe menyebut para pelaku usaha juga membutuhkan insentif tambahan berupa kemudahan perizinan, terutama pada perizinan pengembangan migas di daerah serta kemudahan pembebasan lahan.
"Sekarang ini cukup mendesak sekali. Investasi menurun dan produksi juga menurun, padahal sudah menjanjikan 1 juta barel per hari dan 12 ribu mmscfd gas, tapi angkanya turun terus. Memang perubahannya harus radikal," kata Moshe.
Sebelumnya, Kementerian ESDM mengusulkan pembebasan PPh sekaligus PPN di sektor industri hulu migas di dalam revisi UU Migas. Pembaharuan regulasi itu dimaksud untuk menarik minat investor di tengah kondisi produksi dan lifting migas yang belum optimal, bahkan cenderung turun dari tahun ke tahun.
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan bahwa prinsip tersebut kerap disebut dengan 'assume and discharge', di mana para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan dibebaskan dari tuntutan PPN dan PPh.
"Apabila assume and discharge berlaku, berarti PPN dan PPh tidak ditarik pemerintah, sudah bersih lah jadi KKKS tidak dikenakan itu," kata Tutuka saat ditemui di Gedung Nusantara I DPR pada Selasa (13/12).
Tutuka menilai, usulan regulasi di sektor invetasi hulu migas ini dapat memberikan daya tarik bagi para investor dari domestik dan luar negeri untuk mengoptimalkan eksplorasi migas di Tanah Air. "Iya itu kami usulkan di RUU Migas, usulannya gitu supaya menarik. Diterima atau engga, nanti kami proses," ujar Tutuka.
Menurut catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), produksi minyak nasional hingga kuartal III 2022 berada di 613.100 barel per hari (bph) atau masih 87,2% dari target APBN sebesar 703.000 bph.
Adapun kinerja lifting minyak saat ini mencapai 610.100 bph atau 86,8% dari target 703.000 bph. Sedangkan lifting gas mencapai 5.353 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau 92,3% dari target 5.800 MMSCFD. Total lifting migas mencapai 1,566 juta barel setara minyak per hari (BOEPD) atau 90,1% dari target APBN 1,739 juta BOEPD.