Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) menilai kebijakan larangan eskpor bauksit mentah pada pertengahan tahun depan, perlu diimbangi dengan pengadaan pabrik pengolahan mineral atau smelter. Jika tidak, kondisi ini menimbulkan kekhawatiran pasokan bijih bauksit menjadi mubazir, karena tak bisa diolah.
Pelaksana Harian Ketua Umum APB3I, Ronald Sulistyanto, mengatakan fasilitas pemurnian smelter di dalam negeri belum cukup untuk mengolah seluruh produksi bijih bauksit yang ada. Menurut catatan APB31, ada 28 perusahaan yang aktif dalam kegiatan penambangan bijih bauksit dengan capaian produksi rata-rata 2 juta ton per tahun.
Hal ini membuat produksi bijih bauksit setiap tahun rata-rata menyentuh angka 56 juta ton. "Produksinya mirip-mirip tiap tahun," kata Ronald saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Kamis (22/12).
Menurut Ronald, bakal ada potensi sekira 40 juta ton bijih bauksit yang tak bisa terserap, saat pemerintah memberlakukan kebijakan larangan ekspor. Angka ini muncul dari hitung-hitungan APB3I berdasarkan kemampuan tiga smelter bauksit yang beroperasi, yaitu dua Smelter Grade Alumina (SGA), dan satu Smelter dengan keluaran Chemical Grade Alumina (CGA).
Dua Smelter SGA sanggup mengolah bijih bauksit sebanyak 12, 5 juta ton dengan hasil alumina mencapai 4 juta ton per tahun. Sedangkan Smelter CGA mampu menyerap 750 ribu ton bijih bauksit dengan hasil output olahan bauksit sebesar 300 ribu ton per tahun. "Kendala pada masalah penyerapan. Jika terhambat akan banyak orang yang akan menganggur akibat berhenti produksi," ujarnya.
Kondisi suplai bijih bauksit yang tak terserap dinilai bisa menimbulkan kerugian berlipat. Alasannya, para pelaku usaha rata-rata mengeluarkan belanja modal senilai US$ 1,2 miliar atau setara Rp 18,6 triliun per tahun. Pendanaan ini umumnya digunakan untuk mengolah 6 juta ton bijih bauksit menjadi 2 juta ton alumina per tahun.
Realisasi Pembangunan Smelter
Di sisi lain, pemerintah menyebutkan memiliki empat smelter bauksit eksisting dengan kapasitas olahan atau output alumina, mencapai 4,3 juta ton setiap tahunnya. Adapun Kementerian ESDM menargetkan tambahan 9 smelter bauksit akan beroperasi pada 2023.
Menurut Ronald, target pemerintah untuk dapat mendirikan 9 smelter bijih bauksit itu relatif sulit tercapai. Selain kebutuhan dana yang tinggi, sumber pendanaan atau pinjaman untuk pembangunan smelter bijih bauksit terbilang sulit. "Pendanaan sulit. Punya pemerintah pun belum selesai apalagi yang punya swasta. Rata-ratas masih 23%, 25%. Mungkin yang bisa selesai hanya punya ANTAM," kata Ronald.
Oleh karena itu, Ronald berharap pemerintah bisa mengkaji ulang ihwal rencana penyetopan ekspor bauksit mentah. Menurutnya, kebijakan larangan ekspor bauksit tak bisa disamakan dengan klaim keberhasilan pemerintah dalam moratorium ekspor bijih nikel.
Dia juga mendorong badan legislatif untuk merevisi peta jalan hilirisasi bahan mentah bauksit yang tertuang pada Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020. "Hilirisasi nikel beragam, beda dengan bauksit yang tunggal pada alumunia," ujar Ronald.
Pemerintah akan mendorong pembangunan 12 fasilitas pemurnian atau smelter baru untuk memanfaatkan kebijakan larangan ekspor bauksit mentah. Saat ini, jumlah smelter bauksit yang beroperasi di dalam negeri adalah empat unit dengan kapasitas produksi 4,3 juta ton per tahun.
Selanjutnya, pemerintah juga mengatakan ada empat smelter yang sedang dalam tahap pembangunan dengan kapasitas produksi per tahun mencapai 4,98 juta ton per tahun. Jika semua rampung, akan ada 20 smelter yang siap mengolah bauksit.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengatakan, dari delapan smelter yang disiapkan tersebut, masih bisa dibangun 12 smelter lain. "Ketahanan dari cadangan bauksit kita antara 90-100 tahun," katanya di Istana Merdeka, Rabu (21/12).
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) hingga Juni 2022 mencatat Indonesia memiliki pabrik pengolahan bijih bauksit dengan keluaran smelter grade alumina (SGA), yang dimiliki PT Well Harvest Winning Alumina Refinery dan PT Bintan Alumina. Kedua smelter dengan kapasitas input bijih bauksit mencapai 12,5 juta ton itu dapat memproduksi olahan bauksit mencapai 4 juta ton setiap tahunnya.
Sementara itu, smelter dengan keluaran chemical grade alumina (CGA) milik PT Indonesia Chemical Alumina dengan kapasitas input bijih bauksit mencapai 750 ribu ton. Smelter tersebut dapat menghasilkan olahan bauksit sebesar 300.000 ton.
Kemudian, terdapat satu smelter pengolahan produk lanjutan bauksit menjadi aluminium, ingot dan billet yang dioperasikan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Smelter itu memiliki kapasitas output sebesar 345.000 ton.
Pada Rabu (21/12) lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan larangan ekspor bauksit mulai Juni 2023. Kebijakan ini berlaku untuk bauksit dalam bentuk bijih hingga yang sudah menjalani proses pencucian atau washed bauxite.
"Mulai Juni 2023 pemerintah memberlakukan larangan ekspor bijih bauksit. Dan mendorong industri pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri," kata Jokowi dalam siaran pers di Youtube Sekretariat Presiden pada Rabu (21/12).
Kebijakan penyetopan ekspor bauksit ditujukan untuk menciptakan nilai tambah pada hasil komoditas yang dihasilkan dari produk tambah tersebut.
Kementerian ESDM juga pernah menghitung potensi tambahan nilai tambah dari proyek hilirisasi bauksit. Saat masih dalam bentuk bijih bauksit, harga jual di pasaran sekitar US$ 18 per ton. Harga jual akan meningkat usai bauksit dimurnikan menjadi alumina dengan harga jual US$ 350 per ton, dan berpotensi meningkat lagi jika diolah menjadi produk aluminum US$ 1.762 per ton.