Pemerintah bersama pelaku usaha batu bara dikabarkan telah sepakat untuk mengubah mekanisme pelaksanaan pungutan ekspor batu bara menjadi Mitra Instansi Pengelola (MIP) PNBP dari sebelumnya berbentuk Badan Layanan Umum (BLU).
Perubahan ini untuk menghindari kewajiban alokasi pendanaan untuk pemenuhan layanan dasar seperti penyaluran derma kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan UMKM seperti diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengelolaan BLU.
"Kalau dengan pola BLU harus setoran untuk dana pendidikan dan kesehatan, kalau gak salah 15-25%. Maka diubah menjadi MIP agar tidak ada kewajiban untuk menyetor dana tersebut," kata Ketua Indonesia Mining & Energy Forum, Singgih Widagdo saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Selasa (10/1).
Singgih menambahkan, bahwa keputusan tersebut telah disepakati pada acara pertemuan yang dihadiri oleh sejumlah pelaku usaha bersama pihak Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM belum lama ini.
Menurut Singgih, usulan awal untuk mengubah BLU menjadi MIP berangkat dari inisiatif pemerintah. "Kemungkinan BLU akan diubah menjadi MIP, itu dipertegas oleh Minerba. Pengubahan ke MIP baru kok, pertemuannya sekira minggu kemarin," ujar Singgih.
Singgih pun menjelaskan bahwa mekanisme pelaksanaan MIP berbeda dengan konsep kerangka kerja BLU yang bakal meniru Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS. Menurutnya, peran MIP nantinya hanya akan menjalankan fungsi tunggal yakni sebagai lembaga 'himpun-salur'.
Melalui skema himpun-salur tersebut, PLN dan industri semen, pupuk, dan industri tertentu hanya wajib membayar batu bara senilai harga jual domestic market obligation atau DMO, yakni US$ 70 per ton untuk PLN dan US$ 90 per ton untuk industri.
Selisih harga jual pasar akan dibayarkan kepada pengusaha lewat dana yang dihimpun oleh MIP. Adapun sumber dana MIP berasal dari pungutan ekspor batu bara. "Ya beda. Kalau BPDPKS secara umum bukan untuk iuran trus dibagikan kembali, tapi untuk membantu penanaman ulang hingga membantu pertumbuhan sawit," kata Singgih.
Adapun dana pungutan BPDPKS memiliki fungsi seperti peremajaan perkebunan kelapa sawit, penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit, dan penenuhan untuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri perkebunan kelapa sawit, serta penyediaan dan pemanfaatan bahan bakan nabati jenis biodiesel untuk campuran solar.
Kendati demikian, Singgih juga menyayangkan keputusan pengubahan mekanisme pelaksanaan pungutan ekspor batu bara dari BLU menjadi MIP yang dilakukan secara tiba-tiba. "Kenapa tidak enam bulan lalu pada saat pembicaraan BLU belum berjalan atau diskusi belum berjalan," ujar Singgih.
Status Mitra Instansi Pengelola
Singgih menuturkan bahwa idealnya MIP dikelola oleh badan eksisting bawah pemerintah sebagaimana BPDPKS yang posisinya ada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan.
Pengelolaan MIP dinilai harus dipegang oleh lembaga yang tidak terlibat di dalam proses bisnis maupun manajemen rantai pasok batu bara, sehingga sulit rasanya jika penyelenggaraan skema MIP diatur secara mandiri oleh pengusaha.
"Mereka mengelola uangnya sendiri itu repot ya. Menurut saya konsep Lemigas itu sudah tepat," kata Singgih.
Terlepas dari bentuk implementasi BLU maupun MIP, skema pungutan ekspor batu bara merupakan hal mendesak yang harus segera direalisasikan mengingat disparitas harga jual pasar batu bara dengan kewajiban DMO PLN dan industri tertentu terbilang cukup lebar.
Menurut Singgih, harga batu bara di pasar pada tahun ini masih akan berada di harga rata-rata US$ 260 per ton. Angka ini lebih tinggi dari harga patokan DMO US$ 70 per ton untuk kewajiban penjualan ke PLN dan US$ 90 per ton untuk industri tertentu seperti pabrik pupuk dan semen.
"Apapun bentuknya selama tujuannya untuk mengamankan pasokan domestik di tengah disparitas harga harus segera dipercepat pembentukkannya. Supaya ada payung hukum bagi pemasok batu bara di dalam negeri agar mendapatkan harga batu bara yang mendekati harga internasional tanpa mengganggu APBN," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah belum memberi kepastian soal implementasi pungutan ekspor batu bara oleh Badan Layanan Umum (BLU) yang sebelumnya ditargetkan berjalan pada Januari 2023.
Rencana tersebut kini justru terancam batal seiring belum adanya kesepakatan ihwal waktu operasional BLU. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, mengaku bahwa implementasi BLU masih menemui beberapa rintangan atau kendala.
"Jadi memang BLU yang kemarin diusulkan masih ada hambatannya. BLU sedang mau didiskusikan lagi," kata Arifin saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (6/1).