Kementerian ESDM menjamin ketahanan pasokan energi nasional di tengah konflik Rusia dan Ukraina yang mendisrupsi pasar energi dunia, khususnya pada penyediaan minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM).
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji, mengatakan bahwa pemerintah masih perlu mengimpor minyak mentah dan BBM untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Tercatat rerata besaran impor minyak mentah pada 2022 mencapai 286,03 ribu barel per hari (bph).
Oleh karena itu pemerintah telah mengunci komitmen negara produsen minyak yang tak terlibat dalam konflik tersebut, seperti Arab Saudi dan Nigeria. "Dua negara tersebut tidak berhubungan langsung dengan konflik," kata Tutuka dalam Energy Corner CNBC pada Senin (27/2).
Stategi serupa juga diterapkan pemerintah pada pengadaan impor BBM. Pemerintah sejauh ini telah menjalin kesepakatan pembelian BBM dari beberapa negara seperti Singapura dan Malaysia. "Mereka juga tidak berhubungan langsung dengan konflik tersebut sehinga sampai saat ini energi kita sehari-hari bergerak cukup," ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor BBM sepanjang 2022 mencapai 347.625 barel per hari (bph) dengan nilai mencapai US$ 19,76 miliar atau sekira Rp 299,41 triliun. Impor BBM terdiri dari bensin atau gasoline 275.214 bph, dan solar atau gasoil 72.411 bph.
Secara volume, impor BBM 2022 naik 26% dari tahun sebelumnya sebesar 275.861 bph dengan rincian 226.431 bph bensin dan 49.430 bph solar.
Singapura menjadi negara importir BBM terbesar ke Indonesia sepanjang 2022 lewat total pengiriman hingga 165.067 bph, dengan rincian 144.098 bph bensin dan 20.969 bph solar. Selanjutnya ada Malaysia dengan total pengiriman BBM 99.905 bph dan India dengan total volume pengiriman 38.424 bph.
Konflik Rusia-Ukraina kini terindikasi meluas setelah Cina menyerukan rencana perdamaian untuk mengakhiri perang. Direktur Kantor Komisi Urusan Luar Negeri Pusat Partai Komunis Cina, Wang Yi, menekankan bahwa Cina berkomitmen untuk menjembatani pembicaraan damai dalam penyelesaian konflik di Ukraina.
"Kemitraan strategis Cina-Rusia dibangun atas dasar non-aliansi, non-konfrontasi, dan non-penargetan negara ketiga, yang berada dalam hak kedaulatan dua negara merdeka mana pun," kata Wang Yi pada sebuah konferensi pers pekan lalu.
Sikap Cina itu ditanggapi oleh sejumlah pimpinan negara Eropa. Satu diantaranya datang dari Presiden Jerman, Frank Walter Steinmeiner. Dia beranggapan apabila Cina berniat untuk memainkan peran sebagai pihak yang menyerukan perdamaian, maka Cina harus bergabung dengan mayoritas negara di bawah naungan PBB.
"Cina tentu harus berbicara tidak hanya dengan Moskow tetapi juga dengan Kiev," kata Steinmener pada Jumat (24/2).