Kementerian ESDM meminta PT Indonesia Battery Corporation (IBC) bersama Ningbo Contemporary Brunp Lygend (CBL) mulai membangun pabrik pengolahan bijih nikel berteknologi High Pressure Acid Leaching atau HPAL akhir tahun ini.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pengembangan Industri Sektor ESDM, Agus Tjahjana, mengatakan proses konstruksi bakal langsung berjalan setelah konsorsium menyelesaikan studi kelayakan yang diperkirakan rampung dalam waktu dekat.
"Akhir tahun ini saya kira studi kelayakannya selesai dan sudah mulai garuk-garuk tanah," kata saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM pada Selasa (7/3).
Pabrik pengolahan nikel berteknologi HPAL ini akan mengolah bijih nikel limonit kadar rendah 0,8%-1,5% yang merupakan bahan baku utama produksi nikel sulfat atau kobalt sulfat. Dua produk itu merupakan bahan baku komponen baterai.
Pembangunan pabrik pengolahan tersebut merupakan salah satu pengadaan dalam rangkaian Proyek Dragon dengan total nilai investasi sebesar US$ 6 miliar atau sekira Rp 92,3 triliun. Pabrik tersebut ditargetkan selesai paling lambat pada 2026.
"Kalau mereka jalan tahun ini, paling meleset 2026 selesai, itu paling lambat," ujar Agus.
Dalam Proyek Dragon, CBL akan membangun seluruh fasilitas sampai produksi sel baterai tahap pertama di Halmahera Timur. Kemudian pada tahap kedua CBL akan membangun proyek pengolahan nikel sulfat, precursor, katoda dan sel baterai di Kawasan Industri Kalimantan Utara.
CBL juga akan membangun pabrik daur ulang baterai. Suplai baterai bekas diambil dari loakan baterai kendaraan listrik dan baterai bekas untuk penyimpanan energi untuk energi baru dan terbarukan.
Sebelumnya, Direktur Utama IBC, Toto Nugroho mengatakan pola bisnis yang lakukan bersama bersama CBL mengedepankan produksi sel baterai di Indonesia. IBC bersama CBL akan mengembangkan industri baterai kendaraan listrik sampai tahap proses daur ulang.
"Sehingga ini bisa di daur ulang untuk untuk mendapatkan lagi nikel, mangan, dan kobalt yang kami butuhkan. Ini sangat baik karena bisa digunakan kembali," kata Toto saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR pada Senin (19/9/2022).
Pengolahan bijih nikel limonit di dalam negeri masih rendah karena didorong oleh nilai invetasi yang cukup besar, yakni paling minim US$ 1 miliar.
Sejauh ini, baru ada satu pabrik pengolahan limonit di Indonesia milik Harita Group. Pabrik pengolahan yang terletak di Halmahera Selatan, Maluku Utara ini mulai aktif pada Juni 2021.
Pabrik ini mampu mengolah bijih nikel limonit menjadi campuran padatan hidroksida dari nikel dan kobalt atau Mixed Hydroxide Precipitate (MHP). Pemurnian nikel dengan proses hidrometalurgi High Pressure Acid Leaching atau HPAL itu memiliki kapasitas produksi MHP sebesar 365 ribu ton per tahun.