Air Products Cabut dari Proyek DME RI Imbas Tingginya Harga Batu Bara

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/nym.
Sebuah kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (29/11/2022).
16/3/2023, 18.34 WIB

Hengkangnya Air Products and Chemicals Inc. (APCI) dari dua proyek hilirisasi batu bara di Indonesia diduga lantaran tingginya harga batu bara yang membuat proyek tersebut menjadi tidak ekonomis.

Perusahaan pengolahan gas dan kimia asal Amerika Serikat (AS) itu diketahui bekerja sama dengan PT Bukit Asam (PTBA) dan PT Kaltim Prima Coal (KPC) untuk gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME).

Plh Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno mengatakan bahwa studi kelayakan atau feasibility study (FS) yang dilakukan oleh PTBA dan Air Products ketika harga batu bara masih di kisaran US$ 27-28 per ton.

Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan harga batu bara di Pasar ICE Newcastle saat ini yang menyentuh US$ 175 per ton. "Di masa lalu, saat membuat FS, harga batu bara masih rendah, kira-kira sepersembilan harga batu bara saat ini yang mencapai ratusan," kata Djoko dalam Mining Zone CNBC pada Kamis (16/3).

Pada kesempatan tersebut, Djoko merujuk pada hasil studi dari lembaga kajian internasional asal Amerika Serikat, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) yang menghitung kerugian proyek gasifikasi batu bara garapan PTBA dan Air Products mencapai US$ 377 juta per tahun.

"Mereka bicara lewat statistik soal kenaikan harga batu bara dan kemudian memang batu bara mengalami kenaikan yang sangat tinggi. Di situlah titik balik Air Products menilai proyek tersebut benar-benar mahal," ujar Djoko.

Djoko pun menyampaikan bahwa skema gasifikasi batu bara belum banyak diterapkan oleh mayoritas negara konsumen batu bara terbesar dunia seperti India dan Cina. Menurut Djoko, dua negara tersebut melihat bahwa DME merupakan proyek mahal dan belum ekonomis.

"Mengapa mereka tidak membuat, karena mereka masih punya uang untuk beli LNG, sementara tujuan kita menghemat Rp 9,14 trilun dengan investasi US$ 2,1 miliar," kata Djoko.

Sebelumnya, Plh Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara (Minerba) Kementerian ESDM, Muhammad Idris Froyoto Sihite, mundurnya Air Products and Chemicals Inc dari dua proyek hilirisasi batu bara domestik itu disebabkan oleh macetnya hitung-hitungan investasi antar perusahaan.

"Iya, untuk proyek bersama PTBA dan KPC cabut juga, cabut semua. Mungkin karena skema bisnis dan aspek keekonomian yang belum ketemu," kata Idris kepada wartawan di Kantor Kementerian ESDM pada Kamis (9/3).

Adapun KPC berencana membangun proyek olahan batu bara menjadi methanol. Proyek berlokasi di Bengalon, Kalimantan Timur, ini ditargetkan beroperasi pada 2025 dengan kapasitas batu bara 5-6,5 juta ton per tahun (GAR 4.200 kcal/kg). Hasil produknya ditargetkan bisa mencapai 1,8 juta ton methanol per tahun.

Sementara rencana proyek hilirisasi batu bara PTBA berorientasi kepada gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME). Proyek yang berlokasi di Tanjung Enim, Sumatera Selatan ditaksir sanggup menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun dari batu bara berkalori 4.200 sebanyak 6 juta ton.

Selain itu, pabrik tersebut juga akan memproduksi metanol 2,1 juta ton per tahun dan Syngas atau gas sintetis sebesar 4,5 juta kN/m3 per tahun.

Namun rencana tersebut terancam mandek usai Air Products and Chemicals Inc mengirim surat resmi pengunduran diri kepada pemerintah lewat Kementerian Investasi.

Direktur PT Bukit Asam (PTBA), Arsal Ismail, enggan menjelaskan detil alasan maupun faktor hengkangnya Air Products and Chemicals Inc dari proyek gasifikasi batu bara tersebut.

Perseroan juga bakal menjalin kontak dengan Air Products and Chemicals Inc untuk meminta klarifikasi lebih lanjut soal keberlangsungan proyek senilai Rp 34,04 triliun tersebut.

"Air Products sudah kirim surat resmi beserta alasannya. Mereka mungkin punya alasan tersendiri. Surat itu disampaikan melalui kementerian yang bisa jelaskan lebih detil," Kata Arsal saat ditemui wartawan di The St Regis Jakarta pada Kamis (9/3).

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu