Kementerian ESDM tengah bersiap untuk mencari mitra pengganti untuk Premier Oil Tuna BV di Blok Tuna seiring pemberlakukan sanksi Uni Eropa dan Pemerintah Inggris terhadap Rusia. Sanksi tersebut berdampak pada rencana pengembangan atau plan of development (PoD) Wilayah Kerja (WK) Tuna tahun ini.
Blok Tuna rencananya bakal dikelola oleh perusahaan migas asal Inggris, Premier Oil Tuna BV dan perusahaan migas asal Rusia, Zarubezhneft lewat anak perusahaannya, ZN Asia Limited. Masing-masing perusahaan mengantongi saham proyek sebesar 50%. Rencana pengembangan Blok Tuna tahun ini kemungkinan tersendat lantaran Premier Oil mendapat sanksi lantaran bermitra dengan Zarubezhneft.
"Proyek ini akan terus jalan. Nanti kalau memang mencari kemitraan baru kita akan dorong itu karena memang progress-nya bagus," kata Arifin saat ditemui di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (17/3).
Arifin menambahkan, proyek bernilai investasi sebesar US$ 1,050 miliar atau setara Rp 16,35 triliun itu memiliki peran penting bagi produksi gas yang rencananya bakal diekspor ke Vietnam pada 2026 mendatang. Adapun potensi gas yang dihasilkan dari Blok Tuna berada di kisaran 100 hingga 150 million standard cubic feet per day (MMscfd).
Dengan berjalannya proyek ini, pemerintah akan mendapatkan gross revenue sebesar US$ 1,2 miliar atau setara dengan Rp 18,4 triliun. Adapun kontraktor gross revenue sebesar US$ 773 juta atau setara dengan Rp 11,4 triliun dengan biaya cost recovery mencapai US$ 3,3 miliar.
"Proyek ini akan jalan terus, masa kalau progress-nya bagus kita stop," kata Arifin.
Sebelumnya, dalam pertemuan awal tahun ini dengan SKK Migas, Harbour Energy perusahaan induk Premier Oil Tuna BV mengungkapkan bahwa rencana tersebut menghadapi pembatasan dari Uni Eropa dan Pemerintah Inggris. Sanksi tersebut merupakan respon atas invasi Rusia ke Ukraina sejak awal tahun lalu.
“Rencana pengembangan dipengaruhi oleh sanksi Pemerintah UE dan Inggris yang membatasi kemampuan kami sebagai operator untuk menyediakan layanan tertentu kepada mitra Rusia kami di Lapangan Tuna,” kata manajemen dalam laporan tahunannya, dikutip Senin (13/3).
Harbour Energy menyatakan akan bekerja sama dengan mitra Rusia-nya tersebut untuk mencari solusi agar rencana pengembangan Lapangan Tuna dapat terealisasi tahun ini.
SKK Migas juga sedang menjajaki cara untuk memitigasi dampak sanksi tersebut terhadap rencana pengembangan Blok Tuna. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, sanksi itu akan menghambat rencana agresif pengembangan Blok Tuna tahun ini.
“Tentu rencana pengembangan akan tertunda. Kami sedang menjajaki langkah-langkah tindak lanjut,” ujar Dwi.