Mitigasi Batu Bara Tersendat, Program Kompor Listrik Bisa Dijalankan
Keputusan Air Products and Chemicals Inc untuk mengundurkan diri dari konsorsium proyek gasifikasi batu bara di Indonesia dinilai bakal berpengaruh terhadap rencana substitusi LPG sebesar 1,4 juta metrik ton per tahun Dimethyl Ether (DME) hasil gasifikasi batu bara. Angka tersebut setara dengan 1 juta ton Liquefied Petroleum Gas (LPG).
Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa pemerintah harus melakukan upaya mitigasi untuk mengatasi kegagalan proyek DME dengan mendorong konversi kompor gas menjadi kompor listrik induksi secara nasional. Hal tersebut dirasa sejalan dengan niat pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sekaligus mengurangi impor LPG.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, menganggap langkah yang diambil Air Products untuk mundur dari proyek hilirisasi batu bara DME bersama PT Bukit Asam dan proyek etanol dengan PT Kaltim Prima Coal merupakan tindakan yang beralasan.
Fabby menilai, proyek-proyek tersebut memiliki nilai keekonomian yang rendah seiring kenaikan harga batu bara dan meningkatnya biaya investasi teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) sebagai media penangkap karbon.
"Mundurnya Air Products dari proyek ini justru bisa menyelamatkan keuangan negara di masa depan karena tidak harus mensubsidi produk DME yang biaya produksinya lebih mahal dari impor LPG,” kata Fabby melalui siaran pers pada Jumat (17/3).
Meski proyek gasifikasi batu bara terancam mandek, pemerintah tetap harus berupaya untuk menekan impor LPG yang telah mencapai 80% pasokan di Indonesia.
Penggunaan kompor listrik induksi dinilai bisa memangkas impor LPG yang menjadi beban APBN. Kementerian ESDM mencatat mayoritas LPG dikonsumsi sektor rumah tangga sebanyak 96%. Disusul sektor komersial 2,5% dan industri 1,5%. Sejauh ini, Indonesia telah mengimpor LPG senilai Rp 80 triliun dari total kebutuhan Rp 100 triliun.
Sementara subsidi LPG yang diberikan pemerintah mencapai Rp 70 triliun. Konsumsi LPG pada tahun 2021 mencapai 7,95 juta ton, dengan 6,4 juta ton berasal dari impor.
IESR mencatat, terdapat potensi penghematan subsidi LPG mencapai 1-2 juta per tahun per rumah tangga yang beralih ke kompor listrik, kisaran ini tentu tergantung dari seberapa sering rumah tangga tersebut memasak.
Peneliti IESR Faris Adnan mengatakan, jika dibandingkan dengan DME, emisi dari kompor listrik lebih rendah 34% pada 2025 dan 46% pada 2030, dengan asumsi produksi DME tidak dilengkapi teknologi CCS sehingga menghasilkan emisi yang tinggi.
Lebih lanjut, ujar Faris, apabila 1,4 juta metrik ton per tahun DME yang digunakan untuk memasak diganti dengan listrik, maka pada tahun 2025 diprediksi dapat menghemat emisi sebesar 2,92 juta ton CO2 dan 3,94 juta ton CO2 pada tahun 2030.
"Selain itu, peralihan 1,4 juta metrik ton DME ke listrik ini dapat meningkatkan permintaan listrik sebesar 7,2 TWh per tahunnya," ujar Faris.