Proyek patungan pabrik baterai listrik PT Aneka Tambang (Antam) bersama konsorsium LG Energy Solution (LGES) terus berjalan. Direktur Utama PT Antam, Nico Kanter, menyampaikan bahwa kesepakatan kerja sama pengembangan baterai kendaraan listrik bernilai US$ 8 miliar atau sekira Rp 122,79 triliun itu sempat tertahan karena terjadi perubahan mitra pada konsorsium LGES.
Nico menyampaikan, bahwa urusan tersebut sudah menemui titik terang dan akan difinalisasi lewat pertemuan pemerintah melalui Menteri Investasi, Bahlil Lahadalila dengan pihak LGES pada Jumat (7/5) besok.
"Soal kerja sama dengan LG agak sedikit tertahan karena mereka itu mengubah komposisi soal mitranya, konsorsiumnya. Itu saja," kata Nico di Jakarta, Kamis (6/4).
Dalam Proyek tersebut, Antam berperan sebagai seluruh pemasok bijih Nikel sebanyak 16 juta ton per tahun. Bijih nikel tersebut akan diolah dengan teknologi Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF) dan teknologi Teknologi High Pressure Acid Leaching atau HPAL.
Pengolahan bijih Nikel dengan suhu tinggi merupakan proses pembuatan bahan baku sel baterai berupa nikel sulfat, precursor dan katoda. Proyek produksi baterai listrik yang ditarget berjalan paling lambat pada 2026 ini kerap disebut sebagai 'Proyek Titan'.
Keterlibatan Antam dalam Proyek Titan berawal dari langkah Holding industri pertambangan Mining Industry Indonesia atau MIND ID yang membentuk usaha patungan atau joint venture (JV) dengan pabrikan teknologi asal Korea Selatan itu untuk mengembangkan baterai listrik di dalam negeri.
MIND ID turut masuk ke dalam bisnis produksi baterai listrik dan kendaraan listrik melalui Indonesia Battery Corporation atau IBC. IBC merupakan holding pabrik baterai listrik Indonesia yang terdiri dari MIND ID melalui PT Aneka Tambang (Antam), Pertamina dan PLN. MIND ID memegang 25% saham IBC.
Sebagai pihak pemasok bijih nikel, Antam telah melakukan spin off atau pemisahan anak perusahaan dari induk perusahaan untuk menghasilkan perusahaan baru di segmen bisnis nikel mereka senilai Rp9,8 triliun.
Upaya spin off tersebut menghasilkan dua anak usaha baru, yakni PT Nusa Karya Arindo (NKA) dan PT Sumberdaya Arindo (SDA) yang masing-masing menerima amanat untuk menjadi bagian konsorsium dari dua proyek pengembangan ekosistem kendaraan listrik domestik.
PT NKA akan menjadi pemasok bijih nikel untuk proyek Titan, sementara PT SDA berperan sebagai penyuplai bijih nikel untuk proyek baterai kendaraan listrik bersama konsorsium Ningbo Contemporary Brunp Lygend (CBL) pada Proyek Dragon yang diharapkan berjalan aktif pada 2025.
Dua anak usaha itu akan mengelola sebagian wilayah izin usaha Antam di Halmahera Timur, Maluku Utara untuk penambangan nikel jenis mixed hydroxide precipitate (MHP) atau mixed sulphide precipitate (MSP) sebagai bahan baku precursor dan katoda baterai kendaraan listrik. Setelahnya, pengembangan bahan baku menjadi sel baterai akan dilanjutkan di Kawasan Industri Batang dan Karawang.
"NKA itu nama perusahaan yang kami spin-off buat LGES. Ada SDA dan NKA. SDA untuk CBL, NKA untuk LGES," ujar Nico.
Sebelumnya, beredar kabar kerja sama pemerintah dengan LGES mandek karena LGES dikabarkan menarik diri dari rencana penghiliran prekursor, katoda, sel baterai hingga daur ulang baterai.
LGES disebut malah mendorong mitra konsorsium mereka, Huayou, untuk melanjutkan melanjutkan investasi pada usaha patungan bersama PT Indonesia Battery Corporation atau IBC hingga tahap smelter nikel.
Direktur Utama MIND ID, Hendi Prio Santoso, mengatatakan rencana investasi pada usaha patungan bersama LGES belum menemui titik terang. LGES disebut malah mendorong mitra konsorsium mereka, Huayou, untuk melanjutkan negosiasi dengan MIND ID.
“Kami dapat informasi dari Antam bahwa LG itu masih belum jelas statusnya. Tapi LG mendorong anggota konsorsiumnya Huayou untuk melanjutkan diskusi dan negosiasi,” kata Hendi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR pada Senin (6/2).
Hendi menilai Huayou bukanlah mitra yang relevan bagi Antam. Hal itu berangkat dari portofolio Huayou yang lebih aktif berinvestasi pada pabrik pengolahan mineral atau smelter ketimbang mengurusi pengembangan baterai kendaraan listrik.
“Kami masih menginginkan adanya konsorsium yang lengkap sampai ke manufaktur baterai kendaraan listrik. Sedangkan Huayou hanya bergerak di pengembangan smelter,” ujar Hendi.