PT PLN menyampaikan serapan konsumsi biomassa untuk campuran atau co-firing batu bara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mencapai 220.000 ton sepanjang kuartal I 2023. Angka ini setara 20% dari kebutuhan biomassa untuk 34 PLTU batu bara sebanyak 1,08 juta ton pada tahun ini.
Penggunaan biomassa sebagai campuran bahan bakar PLTU batu bara dinilai belum optimal seiring ketersediaan bahan baku yang terbatas. Pasokan biomassa sejauh ini umumnya masih berasal dari produk sampingan.
Sekretaris Perusahaan PLN Energi Primer Indonesia (EPI), Mamit Setiawan, menyampaikan bahwa harga Biomassa untuk pembangkit listrik dibatasi dengan harga patokan tertinggi atau HPT batu bara. Hal tersebut berimbas kepada sikap para produsen yang memilih menjual hasil biomassa mereka ke pasar ekpor.
"Saat ini hitung-hitungan harga biomassa ke pembangkit PLTU dibatasi maksimum sama dengan HPT batu bara pada PLTU tersebut," kata Mamit lewat pesan singkat WhatsApp pada Kamis (20/4).
Menurut Mamit, Indonesia akan mengalami sejumlah kerugian akibat Biomassa diekspor. Pengembangan energi hijau akan terhambat, di sisi lain pemenuhan energi dalam negeri sebagian besar masih dipenuhi oleh impor energi fosil berupa BBM dan elpliji yang mahal.
Berdampak Negatif Pada Kesuburan Tanah di Indonesia
Mamit mengatakan, ekspor biomassa biasanya sepaket dengan menjual unsur hara ke luar negeri. Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesuburan tanah di Indonesia.
"Produksi biomassa domestik tentu perlu energi yang memunculkan peningkatan emisi karbon. Namun bila diekspor maka penggunaan biomassa dengan emisi rendah akan dinikmati negara lain. Peningkatan emisi di Indonesia, sementara penurunan emisi di negara lain," ujar Mamit.
Mamit menyampaikan bahwa regulasi terkait biomassa saat ini merupakan hal baru di internal PLN. Perusahaan pelat merah itu berharap dapat memeroleh dukungan regulasi dari pemerintah.
Dukungan tersebut di antaranya jaminan penyediaan biomassa di sektor hulu, hingga pengaturan PLN sebagai pembeli atas seluruh bahan baku atau offtaker di sisi hilir.
"PLN EPI terus melakukan pengembangan ekosistem penyediaan biomass baik berupa sinergi BUMN, dengan Pemerintah Daerah dan swasta," ujar Mamit.
Target 1,08 Juta Ton
Sebelumnya, PLN menargetkan kebutuhan biomassa untuk 34 PLTU batu bara sebanyak 1,08 juta ton pada tahun ini. Hal itu ditujukan untuk menjalankan agenda transisi energi yang dilakukan oleh perseroan sekaligus mengurangi ketergantungan energi fosil secara bertahap.
Direktur Utama PLN EPI, Iwan Agung Firstantara, mengatakan bahwa perseroan telah menjalin kerja sama dengan perusahaan BUMN maupun hutan energi untuk menjamin pasokan biomassa secara berkelanjutan. Perusahaan juga melibatkan masyarakat untuk bisa turut berkontribusi dalam memasok biomassa.
"Banyak pasokan biomassa yang kami dapatkan dari masyarakat. Ada limbah pertanian dan perkebunan, limbah hutan masyarakat yang sisa penebangan maupun panennya kami kumpulkan menjadi bahan baku biomassa," kata Iwan dalam siaran pers, Rabu (1/3).
Pada kesempatan tersebut, Iwan melaporkan capaian kebutuhan jangka panjang terkait penyediaan alokasi biomassa mencapai 10,2 juta ton untuk disalurkan kepada 52 PLTU batu bara pada 2025.
Menurut laporan Kementerian ESDM, total kapasitas terpasang pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) Indonesia mencapai 12.529 megawatt (MW) pada 2022.
Kapasitas itu merupakan gabungan dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA), bioenergi, panas bumi (PLTP), tenaga surya (PLTS), serta tenaga angin/bayu (PLTB).
Selama periode 2018-2022 PLTA menjadi pembangkit EBT dengan kapasitas terpasang paling besar di Indonesia. Sedangkan kapasitas EBT lainnya jauh lebih rendah seperti terlihat pada grafik.