Menimbang Untung Rugi Kebijakan Larangan Ekspor Tembaga

ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Area pengolahan mineral PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Papua.
26/4/2023, 15.39 WIB

Pemerintah akan melarang ekspor mineral mentah mulai pertengahan tahun ini, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Meski demikian, pemerintah sepertinya masih bimbang terkait larangan ekspor tembaga. Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin, mengatakan konsentrat tembaga merupakan mineral stategis sehingga keputusan moratorium barang tambang tersebut masih belum diputuskan secara final.

"Nanti biar diputuskan oleh pimpinan karena ini isunya agak stategis, jadi biar bukan pada level saya saja yang menyampaikan," kata Ridwan saat ditemui di Kantor Kementerian BUMN pada Selasa (21/3).

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira. Dia mengatakan bahwa kebijakan larangan ekspor konsentrat tembaga berpotensi memberikan dampak negatif bagi Indonesia.

"Apa benar pajak bisa naik justru dengan pembangunan smelter tembaga? Setelah jadi smelter tembaga kemana hasil barang tadi, siapa yang menikmati?," kata Bhima kepada Katadata.co.id, Rabu (26/4).

Menurut Bhima, pemaksaan penyetopan eskpor mineral mentah menimbulkan banyak kerugian bagi Indonesia. Diantaranya mulai dari banyaknya insentif pajak yang hilang, persoalan tenaga kerja asing, hingga masalah lingkungan dari operasional pertambangan.

"Bahkan ada kekhawatiran Indonesia kalah telak jika digugat di WTO soal pelarangan ekspor konsentrat tembaga. Larangan pada tembaga ini bisa berujung sama dengan nikel, negara sebenarnya tidak dapat hasil yang signifikan justru merugikan.

Sementara itu pakar ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan kebimbangan pemerintah terkait larangan ekspor tembaga terlihat dengan masih diberikannya izin ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia sebesar 2,3 juta ton hingga Juni 2023.

Dia meminta agar tak tebang pilih dalam menjalankan kebijakan larangan ekspor kepada seluruh mineral mentah dan mendesak agar segera memberikan keputusan final soal penghentian ekspor konsentrat tembaga Freeport.

Menurutnya kepastian larangan ekspor tembaga akan memberikan efek kejut kepada Freeport untuk mempercepat pembangunan smelter tembaga di kawasan industri Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) Gresik yang mengalami keterlambatan.

"Kalau ekspor dilarang secara total maka Freeport tidak bisa menjual konsentratnya. Pilihannya, mereka akan mempercepat pembangunan Smelter Gresik atau konsentratnya dibuang ke laut," kata Fahmy dihubungi secara terpisah.

Freeport melaporkan progres pembangunan smelter tembaga baru di JIIPE Gresik mencapai 64% hingga kuartal I 2023. Pembangunan smelter anyar tersebut mundur selama setahun, seiring adanya hambatan Pandemi Covid-19 yang menimpa Indonesia dalam dua tahun terakhir.

Di dalam Izin Usaha pertambangan Khusus (IUPK) milik Freeport tertulis jangka waktu penyelesaian Smelter Gresik paling lambat 5 tahun sejak IUPK itu diterbitkan pada Desember 2018, sehingga penyelesaian pembangunan smelter maksimal rampung pada Desember 2023. Smelter bisa beroperasi secara penuh pada Desember 2024.

"Presiden Jokowi harus tegas dan konsisten, jangan membeda-bedakan antara komoditas tambang satu dengan yang lain," ujar Fahmy.

Sebelumnya, Kementerian ESDM memastikan seluruh produksi bauksit nasional dapat terserap oleh empat smelter yang ada ketika larangan ekspor bauksit berlaku efektif pada Juni 2023.

"Bukan katanya lagi, tapi bakal distop nanti. Stop ekspor bauksit itu sudah pasti," kata Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara, Irwandy Arif saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (14/4).

Sementara itu terkait potensi relaksasi pada pelarangan ekspor konsentrat tembaga seiring langkah Freeport yang mengajukan permohonan ekspor konsentrat tembaga sebanyak 2,3 juta ton dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun ini. Ridwan menyatakan belum ada keputusan soal itu.

Freeport melaporkan adanya potensi kerugian bagi penerimaan negara mencapai Rp 57 triliun jika pemerintah menghentikan kegiatan ekspor konsentrat tembaga perusahaan pada tahun ini. Besaran penerimaan negara yang hilang itu dihitung dalam bentuk pajak, deviden dan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP.

Juru Bicara Freeport, Katri Krisnati, larangan ekspor tembaga dapat mengakibatkan penangguhan kegiatan operasional perusahaan yang secara signifikan berdampak pada keseluruhan kegiatan operasional serta penjualan hasil tambang.

"Jika penangguhan operasional tambang PTFI terjadi, potensi kerugian bagi penerimaan negara melalui Pajak, Dividen dan PNBP mencapai Rp 57 triliun tahun ini," kata Katri kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu, Jumat (14/4).

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu