PT Bukit Asam Tbk (Persero) atau PTBA mengajukan usulan kepada pemerintah untuk menindaklanjuti pembangunan kawasan industri khusus di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Langkah ini ditujukan untuk menggaet investor proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME).
Proyek gasifikasi ditaksir sanggup menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun dari batu bara berkalori 4.200 sebanyak 6 juta ton. Namun, proyek ini mandek usai perusahaan pengolahan gas dan kimia asal Amerika Serikat (AS), Air Products and Chemicals Inc, mundur sebagai investor primer.
Proyek senilai Rp 34,04 triliun itu juga akan memproduksi metanol 2,1 juta ton per tahun dan Syngas atau gas sintetis sebesar 4,5 juta kN/m3 per tahun.
"Kami mengusulkan agar Kawasan Industri Tanjung Enim ditetapkan menjadi KEK dalam rangka mendapatkan insentif bagi investor yang berkontribusi dalam pengembangan hilirisasi batu bara," kata Sekretaris Perusahaan PTBA, Apollonius Andwie, lewat pesan singkat pada Jumat (5/5).
KEK yang dimaksud adalah kawasan industri terintegrasi seluas 585 hektar di Tanjung Enim. Kawasan yang diberi nama 'Bukit Asam Coal-Based Industrial Estate' itu diproyeksikan bakal menjadi sentra industri berbasis hilirisasi dan energi.
Pengadaan kawasan ekonomi khusus diharap bisa menarik modal investor dengan tawaran insentif-insentif yang diberikan oleh pemerintah. Lahan khusus itu ditujukan untuk pembangunan industri hilirisasi yang bekerja sama dengan mitra potensial.
Selain itu, PTBA telah mengalokasikan cadangan batu bara khusus untuk proyek hilirisasi, sehingga kebutuhan batu bara untuk industri hilirisasi dapat terjamin. "Dengan dukungan kuat dari pemerintah, PTBA optimistis hilirisasi batu bara akan dapat diwujudkan," ujar Apollo.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan, mundurnya Air Products and Chemicals Inc dari dua proyek hilirisasi batu bara bersama PT Bukit Asam lantaran perubahan arah bisnis perusahaan menjadi pengembang hidrogen di negara asalnya, Amerika Serikat (AS).
Manuver Air Products juga dilatarbelakangi oleh kebijakan Pemerintah AS yang mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) lewat pemberian subsidi kepada proyek yang dikerjakan, khusunya pada pengembangan hidrogen.
"Karena AS sedang mendorong untuk pemakaian hidrogen, mereka merasa di AS lebih menarik bisnisnya. Di AS ada subsidi untuk EBT, ada proyek yang lebih menarik untuk hidrogen," kata Arifin saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (17/3).
Hal tersebut diatur di dalam Inflation Reduction Act (IRA) atau Undang-Undang Pengurangan Inflasi yang terbit pada Agustus 2022. Melalui IRA, pemerintah AS menggelontorkan US$ 369 miliar untuk menjaga ketahanan energi nasional sekaligus menekan dampak perubahan iklim.
IRA juga mengatur kemudahan kredit investasi untuk pengembangan proyek dan teknologi penyimpanan hidrogen. "Hal itu yang menyebabkan investor banyak lari ke AS," ujar Arifin.