Laba bersih kuartal pertama raksasa minyak Saudi Aramco turun 19% dari tahun sebelumnya menjadi 119,54 miliar riyal (US$ 31,88 miliar atau Rp 470 triliun) imbas merosotnya harga minyak.
Meski begitu capaian laba tersebut masih di atas perkiraan rata-rata analis sebesar US$ 30,8 miliar, menurut data Refinitiv, dan Aramco mengatakan penurunan tersebut sebagian diimbangi oleh pajak yang lebih rendah termasuk pajak zakat Islam dan kenaikan pendapatan keuangan dan lainnya.
Pendapatan minyak kerajaan turun 3% pada kuartal pertama menjadi 178,6 miliar riyal sementara pendapatan non-minyak naik 9%.
Pemotongan produksi dan harga minyak yang lebih rendah diperkirakan akan membebani pertumbuhan Saudi, dengan IMF memproyeksikan pertumbuhan PDB menjadi lebih dari separuh tahun ini menjadi 3,1% dari 8,7% pada tahun 2022, di antara yang tertinggi di G20.
Aramco akan membayar dividen US$ 19,5 miliar atau sekitar Rp 288 triliun untuk kuartal pertama, sejalan dengan kuartal sebelumnya. CEO Amin Nasser mengatakan Aramco sedang mempertimbangkan untuk memperkenalkan dividen terkait kinerja, selain distribusi dasarnya.
“Pembayaran tambahan akan menargetkan 50-70% dari arus kas bebas tahunan, setelah dikurangi dividen dasar dan jumlah lain termasuk investasi eksternal,” kata Amin Nasser dalam sebuah pernyataan seperti dikutip Reuters, Selasa (9/5).
Aramco mencapai kesepakatan untuk memperluas bisnis hilirnya di luar negeri pada kuartal pertama, termasuk investasi di Cina dan menyelesaikan akuisisi bisnis produk Valvoline Inc senilai US$ 2,76 miliar.
“Kami juga bergerak maju dengan ekspansi kapasitas kami, dan prospek jangka panjang kami tetap tidak berubah karena kami yakin minyak dan gas akan tetap menjadi komponen penting dari bauran energi global di masa mendatang,” kata Nasser.
“Proyek kompresi perusahaan di lapangan Haradh dan Hawiyah diharapkan akan memulai produksi awal dan mencapai kapasitas penuh pada tahun 2023,” katanya.
Sebagai informasi, harga minyak bergerak sangat fluktuatif sepanjang tahun ini dipengaruhi banyak faktor, mulai dari tambahan pemangkasan produksi minyak OPEC+, pembukaan kembali ekonomi Cina dari pembatasan Covid-19 ketat, hingga krisis bank di Amerika Serikat (AS).
Namun harga terkoreksi cukup dalam sebulan terakhir, terutama dipengaruhi krisis bank di AS dengan kolapsnya tiga bank yakni Silicon Valley Bank, First Republic Bank, dan Signature Bank, serta kenaikan lanjutan suku bunga bank sentral AS, The Fed, sebesar 25 basis poin (bps).
Dalam sebulan terakhir, harga Brent terkoreksi dari US$ 87,33 per barel pada 12 April 2023 menjadi US$ 72,55 pada Kamis (4/5). Bahkan Brent sempat menyentuh US$ 71,43 pada perdagangan intraday usai The Fed menaikkan suku bunga.
Sedangkan minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI), pada periode yang sama turun dari US$ 83,26 per barel menjadi US$ 68,59 per barel.
Bank Dunia memperkirakan rata-rata harga minyak mentah tahun ini akan lebih rendah dibandingkan rata-rata harga pada 2022. Sepanjang kuartal pertama 2023 harga minyak telah mengalami penurunan tajam dari rekor tertinggi tahun lalu.
“Harga minyak mentah Brent diperkirakan rata-rata US$ 84 per barel pada 2023, turun dari US$ 100 per barel pada 2022,” tulis Bank Dunia dalam laporan Commodity Markets Outlook (CMO) bulan April 2023.