Harga minyak kembali jatuh pada akhir pekan, Jumat (12/5) karena kekhawatiran kondisi ekonomi Amerika Serikat. Selain itu, pasar risau atas ketidakpastikan pertumbuhan permintaan bahan bakar di Cina seiring melemahnya tingkat penurunan pinjaman di negara tersebut.
Demosi harga minyak global telah terjadi sebanyak empat kali dalam sepekan terakhir dengan rerata 1,1%. Angka tersebut menjadi penurunan mingguan terpanjang sejak November 2021.
Minyak mentah jenis Brent turun 48 sen, atau 0,64%, menjadi US$ 74,50 per barel. Sementara harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) turun 39 sen atau 0,55% menjadi US$ 70,48.
Penurunan harga minyak dipicu oleh kondisi pagu utang pemerintah AS dan kekhawatiran kondisi bank regional yang sedang menuju krisis. Kondisi tersebut pada akhirnya memancing sentimen kecemasan ekonomi AS sedang menuju resesi.
Selain itu, turunnya penyaluran pinjaman baru untuk bisnis di Cina dan data ekonomi yang melemah pada awal minggu memicu keraguan tentang kondisi pemulihan ekonomi setelah penghapusan pembatasan Covid-19.
Analis Pasar CMC Markets di Auckland, Tina Teng, mengatakan tingkat data inflasi yang cenderung konservatif dari kedua negara menunjukan permintaan konsumsi masyarakat yang melemah.
"Minyak adalah komoditas yang sensitif terhadap pertumbuhan, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor bearish ini," kata Tina Teng, dikutip dari Reuters pada Jumat (12/5).
Harga minyak sempat naik sebelum kembali jatuh untuk dua sesi sebelumnya menyusul komentar dari Menteri Energi AS bahwa mereka dapat membeli minyak untuk Cadangan Minyak Strategis (SPR) pada Juni mendatang. AS mengatakan bakal membeli minyak ketika harga konsisten di kisaran US$ 67 hingga US$ 72 per barel.
Lebih lanjut, pembahasan untuk menaikkan batas utang federal AS sebesar US$ 31,4 triliun kemungkinan tidak mencapai kesepakatan pada waktunya. Hal itu dapat berdampak negatif pada upaya mencegah gagal bayar utang pemerintah sehingga dapat menyebabkan dislokasi pasar yang parah.
Data harga konsumen Cina bulan April naik lebih lambat dan meleset dari ekspektasi, sementara deflasi gerbang pabrik semakin dalam, menunjukkan bahwa pemerintah harus memperbanyak stimulus.
Pasar minyak sebagian besar mengabaikan perkiraan permintaan minyak global OPEC untuk tahun 2023, yang memproyeksikan permintaan di Cina, importir minyak terbesar dunia, akan meningkat.