Menimbang Untung Rugi Harga Minyak Mentah Domestik demi Jaga Harga BBM

ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/wsj.
Seorang petugas menunjukkan harga BBM jenis Pertalite yang sudah naik menjadi Rp10 ribu per liter di SPBU Maya jalur Pantura, Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (3/9/2022).
19/5/2023, 16.33 WIB

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah merumuskan mekanisme domestic price obligation (DPO) atau kewajiban harga minyak domestik, terhadap jatah lifting atau minyak siap jual pemerintah yang dibeli oleh Pertamina.

Rencana tersebut merupakan upaya untuk menekan harga BBM pada sektor hilir di stasiun pengisian bahan bakar (SPBU). Kendati demikian, langkah penetapan harga dalam negeri itu berpotensi mengurangi pendapatan negara.

Direktur Eksekutif ReforMiner, Komaidi Notonegoro, beranggapan bahwa mekanisme penetapan harga acuan minyak mentah khusus Pertamina memungkinkan seperti layaknya pelaku usaha batu bara yang wajib menyerahkan 25% hasil produksi tahunan kepada PLN dan industri semen dan pupuk dengan harga DMO.

"Kalau DPO migas bisa dilakukan, tentu BBM di hilir akan lebih baik harganya atau kompetitif. Tapi yang perlu dipahami tentu penerimaan negara akan berkurang," ujar Komaidi kepada Katadata.co.id melalui sambungan telepon pada Jumat (19/5).

Regulasi mengenai pengaturan jatah lifting minyak domestik diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang (UU) Minyak dan Gas Bumi atau Migas Nomor 22 tahun 2021, di mana Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% bagiannya dari hasil produksi migas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Ketentuan di UU Migas itu masih terbatas pada upaya menjamin ketersediaan pasokan migas untuk kebutuhan dalam negeri lewat penarikan 25% produksi migas kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

Sementara, acuan harga wajib penjualan minyak mentah jatah pemerintah juga diberi harga khusus meski nilainya tidak sama pada tiap-tiap lapangan. "25% itu volume, kalau untuk harga biasanya ada harga khusus dari pemerintah. Nah tiap-tiap lapangan berbeda," ujar Komaidi.

Meski usulan DPR berpotensi bisa menekan harga BBM di hilir, Komaidi memandang bahwa implementasi rencana tersebut dapat memicu pelaku usaha hulu migas untuk menurunkan produksi migas mereka.

Hal tersebut dapat berimbas negatif pada pemenuhan pasokan minyak mentah dan konsumsi BBM dalam negeri dan menambah beban negara. Alasannya, jelas Komaidi, pemenuhan konsumsi BBM dalam negeri mayoritas ditutup melalui impor.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor bahan bakar minyak (BBM) sepanjang 2022 mencapai 347.625 barel per hari (bph) dengan nilai mencapai US$ 19,76 miliar atau sekira Rp 299,41 triliun. Impor BBM terdiri dari bensin atau gasoline 275.214 bph, dan solar atau gasoil 72.411 bph.

Secara volume, impor BBM 2022 naik 26% dari tahun sebelumnya sebesar 275.861 bph dengan rincian 226.431 bph bensin dan 49.430 bph solar.

Menurut Komaidi, skema DPO yang berlaku pada pemenuhan batu bara PLN tak serta merta bisa diterapkan di industri migas. Sebab produksi batu bara domestik lebih besar daripada kebutuhan PLN.

Sementara, capaian produksi minyak mentah saat ini masih belum mampu untuk memenuhi konsumsi minyak mentah dan BBM domestik.

"Karena kalau di situ ada DMO price-nya ditekan, dikhawatirkan menjadi disinsentif bagi pelaku usaha. Jadi kalau terlalu murah kan, juga pelaku usaha tidak begitu tertarik dan mungkin produksi juga bisa turun," kata Komaidi.

Butuh Kajian Lebih Lanjut

Direktur Jenderal Migas, Tutuka Ariadji, mengatakan bahwa penetapan mekanisme DPO terhadap jatah lifting pemerintah yang dibeli oleh Pertamina masih sebatas ide dan masih perlu dikaji lebih lanjut.

"Sebetulnya itu ide yang bagus. Tapi kita perlu lihat dulu secara menyeluruh, tidak bisa masalah parsial dan perlu dikomunikasikan lebih jauh dengan Pertamina," ujar Tutuka di Kementerian ESDM pada Jumat (19/5). "Ide-ide itu ada, tapi belum terwujudkan."

Menanggapi adanya wacana tersebut, PT Pertamina selaku operator akan mematuhi aturan tersebut jika nantinya sudah ditetapkan. Juru bicara Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, mengatakan perseroan terus aktif berkoordinasi dengan Komisi VII sebagai badan legislatif yang membidangi isu energi.

"Kami intens komunikasi dengan Komisi VII, tentunya banyak hal yang dibahas," ujar Djoko lewat pesan singkat, Jumat (19/5).

Kendati demikian, Pertamina mengaku belum menghitung atau membuat proyeksi ihwal penetapan DPO terhadap potensi penekanan harga penjualan BBM. "Kalau soal proyeksi belum," ujar Djoko.

Sebelumnya, Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto menyampaikan bahwa sejauh ini bagian lifting minyak yang dibeli oleh Pertamina masih menggunakan patokan harga internasional. Hal tersebut berimbas pada meroketnya harga jual BBM saat posisi harga minyak global berada di level tinggi.

"Minyak mentah jatah pemerintah yang dibeli oleh Pertamina untuk diolah menjadi BBM seyogyanya dengan DPO. Ke depan kami akan rumuskan hal itu," kata Sugeng dalam diskusi Energy Corner CNBC pada Senin (8/5).

Menurutnya, Komisi Energi DPR tengah merumuskan mekanisme domestic price obligation atau DPO terhadap jatah lifting atau minyak siap jual pemerintah yang dibeli oleh Pertamina.

"Mungkin dengan mekanisme DPO memang pendapatan negara agak berkurang sedikit. Namun jika dihitung, lebih bisa menekan harga di ujung, ke harga produk BBM," ujar Sugeng.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu