Skema Gross Split Era Menteri Jonan Direvisi, Ini Detail Aturan Baru
Kementerian ESDM merevisi kontrak bisnis hulu migas menjadi New Simplified Gross Split dari skema Gross Split yang berjalan sejak 2018. Skema terbaru itu diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 8 tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil.
Tujuan perubahan skema untuk mendorong pengembangan bisnis hulu migas agar lebih sederhana dan kompetitif. Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas, Noor Arifin Muhammad, mengatakan langkah revisi aturan itu diharap bisa mendorong usaha eksplorasi dan eksploitasi yang efektif dan cepat.
Lewat revisi kontrak hulu migas tersebut, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) diharap mampu mengatasi gejolak harga minyak dari waktu ke waktu. Aturan ini juga mendorong KKKS untuk mengelola biaya operasi dan investasi dengan berpijak pada sistem keuangan korporasi, bukan sistem keuangan negara.
"Kontrak bagi hasil migas di Indonesia terus mengalami perubahan untuk mengakomodir kebutuhan industri,” kata Noor Arifin dalam siaran pers pada Selasa (23/5).
Kontrak Gross Split adalah mekanisme menghilangkan tanggung jawab pemerintah dan SKK Migas untuk mengganti sebagian biaya operasi perminyakan yang biasanya ditanggung secara proporsional bersama KKKS. Aturan bagi hasil migas Gross Split ini berlaku pada era Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar.
Selain kontrak Gross Split, Indonesia juga memiliki bentuk kontrak lainnya yaitu Kontrak Bagi Hasil Cost Recovery yang diberlakukan sejak puluhan tahun silam. Dengan adanya dua bentuk kontrak tersebut, KKKS memiliki pilihan bentuk kontrak.
Cost recovery adalah penggantian biaya operasi hulu migas kepada KKKS. Skema ini kerap memicu perdebatan karena penggantian biaya kepada KKKS sering jadi persoalan seperti bagaimana menentukan besaran cost recovery.
Pemerintah tetap membuka opsi bentuk kontrak Cost Recovery dan Gross Split dalam setiap Penawaran Wilayah kerja (WK) baik untuk WK yang ditawarkan melalui Penawaran Langsung maupun melalui Lelang Reguler.
Lebih lanjut, kata Noor Arifin, terdapat empat urgensi dalam penyempurnaan kontrak Gross Split yaitu pertama, memberikan kepastian nilai bagi hasil yang lebih kompetitif bagi KKKS.
"Penyusunan ulang sistem bagi hasil yang lebih kompetitif dengan negara lain dengan target total bagi hasil sebelum pajak KKKS pada rentang 80% - 90% yang ditentukan berdasarkan profil risiko lapangan untuk meningkatkan kegiatan dan iklim investasi hulu minyak dan gas," ujar Arifin.
Kedua, meminimalisir ketergantungan keekonomian KKKS terhadap tambahan split diskresi Menteri. "Penganalisaan target bagi hasil para KKKS yang membutuhkan tambahan bagi hasil Menteri, untuk rancangan sistem bagi hasil baru yang dapat meminimalisir kebutuhan split diskresi Menteri dan menjamin keekonomian bagi para KKKS kontrak Gross Split," kata dia.
Ketiga, simplifikasi dan penyempurnaan komponen dan parameter bagi hasil. "Penyederhanaan jumlah komponen bagi hasil berdasarkan parameter teknis yang tidak menimbulkan perdebatan dalam penentuan dan efektif penerapannya. Pemilihan didasarkan pada parameter primer yang memberikan koreksi split utama pada kontrak Gross Split eksisting," kata Arifin.
Keempat, perancangan kebijakan fiskal yang cocok untuk Migas Non Konvensional (MNK). "Perancangan kebijakan fiskal untuk pengusahaan migas non konvensional. Pemberian skema baru kontrak GS bagi hasil tetap (fixed split) terhadap profil risiko, kebutuhan teknologi baru, dan penekanan biaya pengusahaan Migas Non Konvensional," ujanya.
Poin perubahan Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017
Sementara dalam pertemuan tersebut, Koordinator Pokja Pengembangan WK Migas Non Konvensional Dwi Adi Nugroho menjelaskan, terdapat 11 poin utama perubahan Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017:
- Penyederhanaan jumlah komponen variabel dari 10 komponen menjadi hanya 3 komponen.
- Penyederhanaan jumlah komponen progresif dari 3 komponen menjadi hanya 2 komponen.
- Penyeimbangan nilai bagi hasil dasar (base split).
- Penyeimbangan nilai total bagi hasil secara keseluruhan.
- Perubahan formula komponen progresif harga minyak dan gas bumi.
- Pemberian batas nilai sliding scale pada parameter komponen progresif harga minyak dan gas bumi.
- Pemisahan unsur kewajiban TKDN KKKS dari komponen bagi hasil.
- Pemisahan Terms & Conditions antara sumber daya Migas Konvensional dan Non Konvensional.
- Penambahan komponen variable tetap khusus untuk sumber daya Migas Non Konvensional.
- Penyempurnaan penentuan nilai parameter berdasarkan metode statistik dari data realisasi 5 tahun terakhir.
- Pemindahan komponen variabel dan progresif dari lampiran Permen ke Keputusan Menteri untuk kepentingan kemudahan penyesuaian parameter terhadap data realisasi di masa depan.
Mengenai perubahan base split, Dwi menjelaskan, Pemerintah menyeimbangkan bagi hasil antara Pemerintah dengan KKKS agar lebih menarik. Base split minyak bumi diubah menjadi 53% Pemerintah dan 47% KKKS. Sedangkan untuk gas bumi, base split-nya adalah 51% Pemerintah dan 49% KKKS. Pada aturan yang lama, base split minyak bumi adalah 57% Pemerintah 43% KKKS, sedangkan gas bumi 52% Pemerintah dan 48% KKKS.
Terkait term and conditions, dibagi 2 yaitu Migas Konvensional dan MNK Untuk Migas Konvensional, jumlah komponen variabel disederhanakan dari 10 komponen menjadi hanya 3 komponen:
- Jumlah cadangan.
- Lokasi cadangan.
- Ketersediaan infrastruktur
Sedangkan jumlah komponen progresif dari 3 komponen menjadi hanya 2 komponen yaitu:
- Harga minyak bumi.
- Harga gas bumi.
Untuk MNK, Pemerintah memberikan penambahan komponen variable tetap khusus sebesar 46%. "Term and conditions MNK lebih sederhana. Semangat dalam New Simplified Gross Split ini, antara lain untuk mendorong MNK agar lebih berkembang," kata Dwi.
Penyusunan rancangan New Simplified Gross Split ini telah melalui tahapan panjang yang dimulai sejak April hingga Juni 2022 yaitu serangkaian Rapat Penyusunan Kebijakan Fiskal MNK. Selain itu juga dilakukan FGD, workshop hingga konsultasi publik.