Kementerian Koordinasi Kemaritiman dan Investasi atau Kemenko Marves memastikan implementasi indeks harga nikel Indonesia atau Indonesia Nickel Prices Index sebagai instrumen transaksi jual-beli nikel di pasar domestik berjalan akhir tahun ini.
"Akhir tahun ini paling tidak indeksnya sudah jadi. Kami sedang minta proposalnya dari masing-masing operator indeks dan lihat mana yang paling bagus," kata Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto kepada wartawan di Hotel Shangri-La Jakarta pada Selasa (30/5).
Seto mengatakan indeks harga nikel Indonesia ini akan menjadi acuan transaksi jual beli tiga produk olahan bijih nikel kelas dua, yakni nickel pig iron (NPI) feronikel hingga nikel matte yang menjadi bahan baku pembuatan stainless steel.
Indeks harga ini ditujukan untuk mengurangi selisih harga yang muncul dari nilai aktualisasi penjualan nikel dengan harga patokan mineral (HPM) yang selama ini mengacu pada rerata harga nikel di pasar London Metal Exchange (LME).
HPM saat ini masih berpatokan pada rerata harga nikel di bursa LME yang merujuk pada jenis nikel kelas satu sebagai bahan baku kendaraan listrik.
Fungsi indeks harga nikel Indonesia akan mirip dengan skema harga batu bara acuan atau HBA yang mengatur besaran kewajiban tarif royalti pelaku usaha batu bara di dalam negeri. Regulasi mengenai pengenaan royalti nikel tercantum di Peraturan Menteri (Permen) Nomor 11 Tahun 2020.
Meski tidak menjamin perlindungan terhadap fluktuasi harga LME, ujar Seto, keberadaan indeks harga nikel Indonesia dapat menjadi patokan pemerintah untuk lebih reflektif terhadap kondisi pasar nikel di dalam negeri.
Inisiatif pengadaan harga acuan nikel domestik juga berangkat dari produksi nikel dunia yang saat ini didominasi oleh nikel kelas dua. "Sekarang dunia kan dominasinnya nikel kelas dua, bukan lagi yang nikel kelas satu," ujar Seto.
Di sisi lain, pelaku usaha pertambangan nikel menilai, adanya indeks harga nikel Indonesia mampu memangkas selisih harga pembayaran kewajiban royalti yang lebih tinggi dari transaksi riil. Sejauh ini, tagihan royalti mengacu pada harga patokan mineral yang merujuk pada rerata harga nikel di pasar LME.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Resvani menjelaskan harga pasaran nikel indeks LME lebih tinggi ketimbang harga nikel domestik yang berbasis feronikel. Menurutnya, harga jual dari feronikel antara penambang dan pelaku usaha smelter berada jauh di bawah LME.
Kondisi tersebut memicu penambang untuk membayar royalti yang lebih tinggi hingga 40% akibat selisih yang muncul dari harga jual riil feronikel dari LME yang digunakan sebagai acuan penentuan tarif royalti.
"Jika menggunakan LME sebagai patokan HPM maka akan terjadi over royalti. Intinya pengusaha terbebani royalti yang tinggi," kata Resvani kepada Katadata, Selasa (9/5).
Hal ini berimbas secara paralel akan mengerek harga nikel domestik yang dijual ke perusahaan smelter, utamanya bagi para pelaku usaha smelter yang tidak terintegrasi dengan tambang nikel.
"Kalau ketinggian harganya maka si smelter akan beli nikel mahal, maka pasti keuntungannya menurun," ujar Resvani.