Janji Arab Saudi untuk memperdalam pengurangan produksi minyak diyakini bakal mengerek harga minyak dunia. Meski begitu, Citi meramal kenaikan tersebut kecil kemungkinannya untuk menembus di atas level US$ 90 per barel.
“Permintaan yang lebih lemah, pasokan non-OPEC yang lebih kuat pada akhir tahun, potensi resesi di AS dan Eropa, serta pertumbuhan yang lebih rendah di cina dapat mendorong harga lebih rendah tahun ini dan pada 2024,” kata analis Citi, dikutip dari Reuters, Rabu (7/6).
Citi menilai kemungkinan Arab Saudi mengatasi masalah-masalah tersebut sendiri secara berkelanjutan cukup rendah. Bank investasi global yang berbasis di New York, Amerika Serikat, ini memperkirakan Brent akan terikat dalam kisaran rata-rata US$ 81 per barel tahun ini.
Harga minyak melambung tinggi dengan Brent menyentuh level US$ 78 per barel usai Arab Saudi mengumumkan pemotongan produksi sebesar 1 juta barel per hari. Namun harga merosot ke US$ 75 pada Selasa (6/6) karena sentimen kekhawatiran pelemahan ekonomi lebih membebani pasar ketimbang sentimen pemotongan produksi Saudi.
Harga Brent sedikit rebound pada Rabu (7/6) setelah sentimen pemotongan produksi kembali membebani pasar meski di tengah kekhawatiran penurunan permintaan dari melemahnya ekonomi global.
“Untuk saat ini, pendorong utama harga minyak terus menjadi kekhawatiran tentang pertumbuhan dan permintaan global, tidak hanya di Cina, tetapi juga AS dan konsumen utama lainnya, kata ahli strategi Saxo Bank, Ole Hansen.
Sementara itu HSBC juga mempertahankan perkiraan Brent di kisaran US$ 93,5 per barel untuk paruh kedua 2023, memprediksi faktor ekonomi makro yang negatif akan mengimbangi beberapa dukungan dari pemotongan tersebut.
Namun, UBS dan Barclays sedikit lebih optimis. Analis UBS memperkirakan Brent pada US$ 95 per barel pada akhir 2023 dengan defisit pasokan terlihat meningkat di atas 2 juta barel per hari, memprediksi pasar akan tetap dalam kondisi defisit menyusul kesepakatan OPEC+ yang memperpanjang pemotongan produksi secara sukarela hingga akhir 2024.
Barclays mengharapkan pengurangan sukarela Riyadh untuk sedikit meningkatkan defisit pada paruh kedua tahun 2023. Analis lain juga mengatakan kekurangan pasokan global dapat semakin dalam pada kuartal ketiga setelah pemotongan, mendorong Brent menuju US$100 per barel pada akhir tahun.