ESDM Jamin Produksi Bioetanol untuk BBM Tak akan Ganggu Sektor Pangan

ANTARA FOTO/Makna Zaezar/foc.
Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax di SPBU Yos Sudarso, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa (3/1/2023).
19/6/2023, 19.57 WIB

Kementerian ESDM memastikan produksi bioetanol untuk bahan campuran BBM jenis Pertamax tidak akan mengganggu pasokan untuk sektor pangan seperti produksi gula dan kecap.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Dadan Kusdiana, mengatakan bahwa produksi bioetanol akan berasal dari etanol hasil olahan molasses yang merupakan produk sampingan dari produksi gula.

Saat memproduksi gula, cairan dari tebu akan diekstraksi dan dipanaskan hingga menjadi kristal. Molasses adalah cairan kental berwarna hitam dengan konsistensi seperti sirup yang tertinggal saat kristalisasi cairan tebu selesai.

"Kami tidak mengonversi bahan baku gula. Kami itu mengonversi molasses yang sekarang tidak dipakai untuk produksi gula. Molasses ini dipakai untuk sektor industri, termasuk bioetanol," kata Dadan di Kantor Kementerian ESDM pada Senin (19/6).

Dadan Kusdiana, mengatakan bahwa saat ini terdapat sebelas badan usaha bahan bakar nabati atau BU BBN penghasil etanol yang tergabung dalam Asosiasi Penyalur Spiritus dan Ethanol Indonesia (Apsendo).

Gabungan sebelas BU BBN itu sanggup memproduksi etanol hingga potensi kapasitas 337.500 kiloliter (KL). Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dari selisih kemampuan produksi bioetanol domestik untuk bahan bakar kendaraan atau fuel grade dari tiga produsen berkapasitas 40.000 KL.

Produksi tersebut berasal dari dua pabrik di wilayah Jawa Timur, yakni 30.000 KL dari PT Energi Agro Nusantara (Enero) di Kabupaten Mojokerto dan 10.000 KL dari PT Molindo Raya Industrial di Kabupaten Malang.

Dadan pun mengatakan bahwa implementasi uji coba komersial BBM campuran Pertamax beroktan 92 dengan bioetanol akan terlaksana pada awal Juli 2023. Adapun lokasi sebaran distribusi bakal berada di sekitar Kota Surabaya dan Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Pemilihan Kota Pahlawan dilatarbelakangi oleh lokasinya yang dekat dengan produsen bahan baku bioetanol di Kabupaten Mojokerto dan Malang.

Sifat bioetanol yang cepat busuk karena terbuat dari material tumbuh-tumbuhan mewajibkan penyalurannya harus dekat dan terjangkau dari lokasi pabrik. "Mudah-mudahan bisa diwujudkan pada awal Juli untuk ujicoba komersial di SPBU," ujar Dadan.

Di sisi lain, Pertamina berencana untuk mengedarkan BBM jenis baru dalam waktu dekat untuk mengurangi ketergantungan impor minyak sembari mewujudkan kemandirian energi domestik.

Langkah perseroan untuk merilis bioetanol akan menambah portofolio produk bahan bakar nabati yang ditawarkan oleh Pertamina. Perusahaan migas pelat merah itu telah mengedarkan BBM dengan campuran minyak nabati yang diwujudkan dalam program B35.

Adapun program B35 adalah mencampur biodiesel dari fatty acid methyl ester atau FAME minyak kelapa sawit sebesar 35% ke dalam komposisi BBM solar bersubsidi.

Juru bicara Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, mengatakan bahwa Pertamina akan segera meluncurkan bahan bakar nabati bioetanol dengan komposisi bauran 5% bioetanol dan 95% Pertamax. "Bioetanolnya nanti 5% plus Pertamax. Jadi kadar RON-nya menjadi 95 nantinya," kata Fadjar lewat pesan singkat pada Senin (19/6).

Kendati demikian, Fadjar belum merinci lebih jauh soal waktu perilisan komersial BBM Bioetanol 5%. Dia mengatakan saat ini Pertamina masih berupaya untuk menyelesaikan administrasi perizinan.

"Launching mudah-mudahan dalam waktu dekat. Masih menunggu waktu yang tepat. Kami akan launching nanti di Surabaya," ujar Fadjar.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu