Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan menindaklanjuti adanya dugaan ekspor ilegal lima juta ton bijih nikel ke Cina. Informasi yang digaungkan oleh KPK itu menemukan adanya praktik penjualan bijih nikel ilegal sepanjang Januari 2020 hingga Juni 2022.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, mengatakan bahwa adanya dugaan penyelundupan ekspor bijih nikel ke Cina sangat beralasan. Pasalnya, pihaknya juga pernah menemukan sekaligus mencegah kejadian serupa dengan volume 71.000 ton pada September 2021.
"Lima juta ton ini bukan barang yang sedikit. Dugaan penyelundupan ini sejak tahun 2020, berarti sejak dilarangnya ekspor bijih nikel dan konsentratnya," kata Nirwala dalam Mining Zone CNBC pada Senin (26/6).
Dia menduga, pengiriman bijih nikel seberat lima juta ton ke Cina secara ilegal itu dilakukan secara bertahap dalam dua tahun terakhir. "Kalau dikirimnya tidak berangsur-angsur tidak mungkin, mother vessel pun tidak mampu," ujarnya.
Melalui Informasi KPK tersebut, pihak internal Kementerian Keuangan termasuk Bea Cukai telah melaksanakan koordinasi lanjutan hingga analisis mendalam dari data The General Administration of Customs of China (GACC) atau Administrasi Umum Kepabeanan Cina yang menjadi sumber rujukan KPK.
"Dalam analisis tersebut, Bea Cukai mendapat masukan tentang hal tersebut, bahkan kami sudah melakukan konfirmasi ke GACC sejak 2021," kata Nirwala.
Nirwala mengaku pihak Bea Cukai telah mendapati para pelaku ekspor ilegal bijih nikel dari penelusuran data ekspor hasil kerja sama dengan pihak bea cukai Cina. Rencananya, dokumen temuan tersebut akan diserahkan ke KPK segera. "Kami bisa lacak eksportirnya yang tentunya tidak bisa saya utarakan di sini," ujar Nirwala.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan bahwa pihaknya telah mengetahui adanya praktik ekspor bijih nikel secara ilegal. APNI pun telah merapatkan hal tersebut dengan Kementerian ESDM pada 2022 lalu.
Menurut Meidy, modus operandi ekspor bijih nikel ilegal yang pihaknya temui pada 2021-2022 menggunakan kode HS 2604 yang mengacu pada komoditas nikel olahan atau nickel pig iron (NPI).
APNI mencatat ada pengiriman ekspor bijih nikel ilegal sebanyak 839.161 ton pada 2021 dan 1,08 juta ton pada 2022 dengan nilai sekira US$ 54,64 juta. Praktik dalam dua tahun tersebut sama-sama menggunakan modus operasi pemakaian kode HS 2064 yang mengacu pada produk olahan bijih nikel.
Meidy mengatakan kode HS 2604 merupakan kode penjualan untuk perusahaan atau pabrik pengolahan, bukan produk pertambangan.
Dia mendorong Bea Cukai agar lebih waspada dalam meloloskan dokumen penjualan dengan upaya pengecekan lebih lanjut pada komoditas yang dilaporkan dan mewaspadai pabrik yang memiliki akses ke pelabuhan internasional untuk ekspor produk olahan nikel.
"Dokumen pelaporan penjualan yang digunakan HS 2604, itu adalah untuk NPI atau sejenisnya. Jadi bukan bijih nikel," kata Meidy pada forum yang sama.
Pada kesempatan tersebut Meidy juga meminta pengetatan pengawasan dari sejumlah instansi seperti Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan khususnya pada pengawasan di wilayah hukum Kementerian Perhubungan yang mengeluarkan dokumen pelabuhan.
"Bukan hanya dari bea cukai saja untuk bagaimana mengecek barang yang ada di kapal itu, bukan hanya lihat dari dokumen yang dilaporkan saja," ujar Meidy.