Komisi VII DPR akan memanggil PT Pertamina dan BPH Migas untuk menggelar rapat dengar pendapat bersama pelaku usaha Pertashop. Tujuannya, untuk menyelesaikan masalah kinerja bisnis pengusaha Pertashop yang menurun hingga rugi dalam beberapa waktu terakhir.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Dony Maryadi Oekon mengatakan pihaknya akan memanggil Pertamina serta BPH Migas untuk mencari solusi atas persoalan dalam bisnis kemitraan Pertashop.
Oekon juga memastikan dirinya segera bertemu manajemen Pertamina dan meminta perusahaan pelat merah itu menerbitkan izin perpanjangan operasional Pertashop melebihi tenggat 15 Juli. "Kami akan panggil Pertamina, itu mudah. Saya secara pribadi akan ketemu dengan Pertamina," ujar Oekon.
Anggota Komisi VII DPR Fraksi PDI-P Adian Napitupulu mengatakan Pertamina harus bertanggungjawab atas kerugian yang dialami oleh sejumlah pengusaha Pertashop. Menurut Adian, paparan Pertamina kepada Komisi VII soal bisnis kemitraan Pertashop tak sejalan dengan realita yang terjadi di lapangan.
Adian menyoroti peran Komisi VII yang menyetujui permintaan Pertamina untuk melaksanakan program kemitraan Pertashop. Adian juga mendesak Pertamina agar mengembalikan modal investasi pelaku usaha jika tidak mampu memberikan cara alternatif ihwal kepastian usaha Pertashop.
"Dulu ada banyak janji keuntungan. Pertamina harus bertanggungjawab karena mitra Pertashop harus terus bayar cicilan di tengah kondisi banyak persoalan," kata Adian.
Persoalan ini berawal dari keluhan sejumlah pelaku usaha Pertashop yang mengalami kerugian. Anggota Wilayah Jepara Paguyuban Pengusaha Pertashop Jawa Tengah dan Yogyakarta, Syaiful, mengatakan dirinya telah menjalin kemitraan bisnis bersama Pertamina lewat pengadaan tiga unit Pertashop di Jepara, Jawa Tengah.
Kendati demikian, kemitraan tersebut mengalami guncangan ketika Pertamina menyetujui tiga izin pembangunan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di sekitar lokasi Pertashop.
Menurut Saiful, pembangunan SPBU yang menjual beberapa jenis BBM, termasuk BBM bersubsidi Pertalite akan menggusur pangsa pasar Pertashop yang hanya diberikan kewenangan untuk menjual BBM non subsidi Pertamax.
"Pertashop kami sudah eksis dan ternyata Pertamina mengeluarkan izin tiga SPBU besar yang jaraknya hanya 700 meter, 1,6 kilometer dan 2,3 kilometer lokasi Pertashop kami," kata Syaiful dalam Audiensi dengan Komisi VII DPR pada Senin (10/7).
Pertashop merupakan outlet penjualan Pertamina berskala tertentu yang dipersiapkan untuk melayani kebutuhan konsumen BBM non subsidi, LPG non subsidi, dan produk ritel Pertamina lainnya dengan mengutamakan lokasi pelayanannya di desa atau di kota yang membutuhkan pelayanan produk ritel Pertamina.
Skema pengadaan Pertashop merupakan bisnis kemitraan antara Pertamina dan pelaku usaha yang mayoritas berstatus sebagai pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Pendirian Pertashop mayoritas menggunakan permodalan pinjaman dari bank BUMN maupun BUMD yang menyediakan fasilitas kredit usaha rakyat alias KUR.
Adapun besaran investasi pembangunan Pertashop rata-rata mencapai Rp 570 juta yang terdiri dari paket Pertashop Gold dengan margin Rp 850 per liter sebesar Rp 250 juta, sewa lahan 10 tahun Rp 100 juta, pendirian bangunan Rp 200 juta dan biaya lain-lain mencakup listrik, air hingga reklame mencapai Rp 20 juta. Mitra Pertashop beranggapan nominal investasi tersebut tak sebanding dengan pendapatan bersih rata-rata senilai Rp 1,2 juta per bulan.
"Meskipun kami adalah pengusaha Pertashop, tapi kami adalah petani dan buruh yang mencoba naik kelas tapi kena prank," ujar Saiful, disusul dengan gemuruh aplaus di ruang sidang Komisi VII.
Selain itu, Asosiasi Pertashop yang diwakili oleh Paguyuban Pengusaha Pertashop Jawa Tengah dan Yogyakarta serta Himpunan Pertashop Merah Putih Indonesia (HPMPI), menyatakan bahwa izin operasional sementara atau IOS kemitraan Pertashop bakal berakhir pada 15 Juli 2023 mendatang.
Ketua Umum HPMPI, Steven, menjelaskan bahwa mekanisme IOS adalah izin persetujuan bangunan gedung (PBG) dan sertifikat laik fungsi (SLF) yang diterbitkan oleh Kementerian Pekerja Umum dan Perumahan Rakyat (PURP). Izin tersebut menjadi landasan Pertamina untuk menyetujui pembangunan Pertashop di suatu daerah. Izin tersebut harus diperpanjang tiap enam bulan sekali.
Steven menjelaskan, perpanjangan izin itu kini menemui hambatan. Pasalnya, Kementerian PURP belakangan menerapkan simplifikasi perizinan PBG dan SLF yang memangkas jumlah syarat perpanjangan izin menjadi 4 dokumen dari semula 13 dokumen.
Kendati syarat pengajuan perpanjangan izin lebih sedikit, para pelaku usaha yang menyetor dokumen tersebut mentok karena PURP tidak mengeluarkan surat edaran yang menjadi pegangan pelaku usaha. Informasi mengenau simplifikasi perizinan tersebut tak tersampaikan dengan baik di jajaran Pemerintah Kabupaten/kota. Singkatnya, pengusaha Pertashop meminta penerapan dan sosialisasi yang lebih masif.
Mereka juga meminta percepatan tanda tangan kontrak permanen antara mitra Pertashop dengan Pertamina Parta Niaga, yang memberikan diskresi terkait PBG dan SLF.
"Apabila sampai 15 Juli kami tidak menuntaskan izin yang kami harusnya miliki, maka mau tidak mau IOS kami akan dicabut. Kalau sudah dicabut, otomatis kami tidak dapat suplai minyak sampai waktu yang kita belum ditentukan," ujar Steven.