Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan urgensi hilirisasi bauksit di dalam negeri. Airlangga menyampaikan dua alasan, yakni peningkatan nilai tambah dan penyederhanaan alur logistik.
Airlangga mengatakan proses pengolahan bauksit cukup rumit hingga produk akhirnya digunakan di dalam negeri. Produk akhir yang dimaksud adalah blok mesin yang akhirnya digunakan oleh PT Toyota Manufacturing Indonesia sebagai bahan baku.
Ia lalu menjelaskan, bauksit dari Pulau Kijang, Kepulauan Riau diekspor ke Australia. Hasil pengolahannya yakni alumina lalu dikirim lagi ke Asahan di Sumatera Utara untuk diolah menjadi aluminium. Setelah itu aluminium dikirim lagi ke Jepang untuk diolah sebelum diekspor lagi sebagai mesin ke Indonesia.
"Jadi perjalanan bauksit dari Tanah Air ini lucu," kata Airlangga dalam Indonesia Data and Economic Conference Katadata 2023, di Jakarta, Kamis (20/7).
Airlangga mencatat harga bauksit yang diekspor ke Australia mencapai US$ 30 per ton, harga alumina dari Negeri Kangguru ke dalam negeri senilai US$ 1.800 per ton, sedangkan harga aluminium yang diekspor ke Jepang adalah US$ 6.500 per ton.
Artinya, nilai tambah dari bauksit ke aluminium mencapai 217 kali lipat. Akan tetapi, ada bagian pengolahan yang hilang, yakni pengolahan dari bauksit ke alumina oleh Australia dan pengolahan aluminium jadi blok mesin di Jepang.
Makanya, pemerintah telah memutuskan pelarangan ekspor bauksit dan berlaku efektif pada pertengahan Juli 2023. Hal tersebut bertujuan agar seluruh nilai tambah dari pemurnian bauksit dapat terjadi di dalam negeri.
Seperti diketahui, pemerintah telah melarang ekspor mineral lain pada 2020, yakni nikel. Adapun, implementasi pelarangan ekspor tembaga diperpanjang hingga Mei 2024 lantaran fasilitas pemurnian di dalam negeri belum siap.
Walau demikian, Airlangga tetap akan mendorong pengolahan mineral dalam negeri. Pasalnya, langkah tersebut dapat membuktikan potensi ekonomi yang besar milik Indonesia.