Hitung-Hitungan Naik Harga Gas Komersial Industri

ANTARA FOTO/Anis Efizudin/rwa.
Petugas berjalan di areal stasiun gas R/S sektor 01 (Balkondes) saat perawatan rutin di Desa Wisata Berkelanjutan Karangrejo, Borobudur, Magelang , Jawa Tengah, Rabu (2/11/2022).
Editor: Lavinda
15/8/2023, 17.05 WIB

Langkah PT Perusahaan Gas Negara atau PGN untuk menaikan harga gas komersil industri mulai 1 Oktober 2023 mendapat tanggapan negatif dari pelaku usaha. Mereka menilai kenaikan harga gas berpotensi ikut mengerek harga jual produk dan jasa domestik, sehingga menurunkan daya saing industri di dalam negeri.

PGN menginformasikan kenaikan harga melalui surat resmi kepada masing-masing pelanggan komersial dan industri non harga gas bumi tertentu (HGBT) Adapun harga gas non-HGBT di area Bogor dan Kerawang menjadi US$ 11,89 per MMBtu dari sebelumnya US$ 9,16 per MMBtu.

Ketua Umum FIPGB Yustinus Harsono Gunawan mengatakan kenaikan harga gas itu dapat menurunkan daya saing industri domestik. Kenaikan harga gas industri juga mengagetkan para pelaku industri.

Menurutnya, penetapan kenaikan tarif itu berdekatan dengan kebijakan penyesuaian harga gas bumi tertentu (HGBT) US$ 6 per MMBtu atau harga gas murah pada awal tahun yang yang tertulis di dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 91 tahun 2023.

"Kenaikan harga gas non-HGBT oleh PGN mengagetkan industri pengguna gas bumi," kata Yustinus lewat pesan singkat pada Selasa (15/8).

PGN melakukan penyesuaian harga gas industri kepada seluruh ketegori pelanggan. PGN mematok tarif teranyar untuk pelanggan Gold menjadi US$ 11,89 per MMBtu dari sebelumnya US$ 9,16 per MMBtu. Harga gas untuk pelanggan kategori Silver juga naik menjadi US$ 11,99 per MMBtu dari sebelumnya US$ 9,78 per MMBtu.

Selanjutnya, tarif gas untuk pelanggan Bronze 3 naik menjadi US$ 12,31 per MMBtu dari sebelumnya US$ 9,16 per MMBtu dan Bronze 2 menjadi US$ 12,52 per MMBtu dari sebelumnya US$ 9,20 per MMBtu.

Kenaikan harga gas juga menyasar pada kategori pelanggan Bronze 1 menjadi Rp 10.000 per meter kubik dari harga sebelumnya Rp 6.000 per meter kubik. "Dampak paling mungkin dari kenaikan harga gas oleh PGN adalah deindustrialisasi," ujar Yustinus.

Sekretaris Perusahaan PGN, Rachmat Hutama, menjelaskan bahwa penyesuaian harga gas komersil industri dipengaruhi oleh kondisi harga, volume, dan sumber pasokan gas yang disalurkan melalui jaringan pipa, gas alam cair (LNG) dan gas alam terkompresi (CNG). 

Lebih lanjut, fluktuasi harga gas juga terbentuk dari dinamika dan perubahan diseluruh rantai bisnis gas bumi, termasuk yang ditetapkan oleh kontraktor sebagai pemasok gas di hulu kepada PGN.

"Dan saat ini juga terdapat penyesuaian harga untuk perpanjangan pasokan gas dari pemasok gas kepada PGN, sehingga hal ini berdampak langsung ke pelanggan di sisi hilir. Selain itu, juga terdapat penyesuaian volume pasokan gas pipa dari pemasok gas," kata Rachmat lewat pesan singkat pada Selasa (15/8). 

Pada kesempatan tersebut, Rachmat juga menanggapi adanya keluhan penurunan daya saing karena kenaikan harga gas komersil. Dia menyebut, penyesuaian harga gas tidak selalu menjadi faktor utama penentuan daya saing industri.

Menurutnya, daya saing industri juga ditentukan oleh sejumlah faktor lain, di antaranya faktor daya saing dan biaya sumber daya manusia. Aspek daya saing juga ditentukan oleh kebijakan dan proteksi produk impor, bahan baku, dan pemanfaatan teknologi.

"Dalam hal ini, gas bumi memang merupakan salah satu komponen biaya yang mempengaruhi kegiatan produksi yang dilakukan oleh sektor industri, namun tidak selalu menjadi komponen utama dalam struktur biaya produksi," ujar Rachmat. 

Tenaga Ahli Kepala SKK Migas, Luky Yusgiantoro, mengatakan perhitungan harga gas mengacu pada biaya maupun investasi kontraktor terhadap pengembangan lapangan serta biaya produksi di sektor hulu migas.

"Dari sudut pandang SKK Migas, harga gas ini dalam rangka membantu keekonomian kontraktor maupun operator agar produksi gas meningkat dan menjadi jembatan transisi energi," kata Luky saat menjadi pemicara dalam diskusi daring bertajuk 'DETalk Energi Nasional Terus Melaju untuk Indonesia Maju' pada Selasa (15/8).

SKK Migas juga terus mendorong kontraktor untuk mengoptimalkan biaya operasional agar dapat menekan harga jual produk gasnya. Alasannya, pemanfaatan gas di level harga ekonomis akan menghasilkan nilai tambah tinggi pada sektor industri seperti pupuk dan petrokimia. "Sehingga menjadi penting ketika pemerintah menetapkan harga gas untuk juga melihat nilai tambah ke depan," ujar Luky.

Kepala Pusat Kajian Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, mengatakan kenaikan harga gas industri non HGBT dapat ditekan jika pemerintah lebih sensitif dalam menyalurkan insentif fiskal dan non fiskal pada kegiatan produksi migas. Kendati demikian, Abra juga menganggap usia lapangan gas yang menua berpotensi mengerek biaya operasional pengangkutan atau salur gas pada sektor hulu.

"Ketika ada konsekuensi tambahan investasi di hulu karena ada kebutuhan teknologi yang berubah maka pemerintah harus ikut aktif mendukung," kata Abra saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Selasa (15/8).

Inisiatif pemerintah untuk ikut berinvestasi pada sektor hulu migas dinilai menjadi katalis bagi pengembangan industri domestik lewat ketersediaan energi murah. Abra menganggap, pelaku industri energi harus menjadi pendukung bagi sektor industri manufaktur.

Penyediaan sumber energi murah dipercaya menjadi modal primer untuk menciprakan nilai tambah dari hasil jasa dan barang di sisi industri hilir. "Ini jangan terbalik, industri energi di hulu yang harus menjadi penopang industri manufaktur," ujar Abra.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu