Komisi Energi DPR Dukung Moratorium Izin Pembangunan Smelter Nikel

ANTARA FOTO/jojon/Spt.
Foto udara smelter milik PT Vale Indonesia Tbk di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Jumat (28/7/2023).
17/8/2023, 07.00 WIB

Komisi Energi DPR mendukung rencana pemerintah menghentikan sementara atau moratorium izin pendirian pabrik pengolahan nikel. Alasannya, saat ini produksi komoditas nikel kadar tinggi sudah berlebih, seperti feronikel, nikel pig iron (NPI), dan nikel matte.

Wakil Ketua Komisi VII Bambang Haryadi mengatakan sebaiknya pemerintah mendorong pabrik pengolahan mineral yang menghasilkan produk hilir bahan baku baterai seperti prekursor dan katoda.

"Saya pikir perlu dibatasi pembangunan smelter baru, yang saat ini hasilnya produk pengelolaan awal kan," kata Bambang kepada wartawan di Gedung Nusantara II Jakarta pada Rabu (16/8).

Komisi Energi juga mendorong pemerintah agar memberikan peluang yang lebih besar kepada pelaku usaha yang ingin mendirikan smelter hidrometalurgi High Pressure Acid Leach Leaching (HPAL).

Smelter ini untuk suplai bahan baku produk lanjutan yang lebih hilir, seperti prekursor, katoda, hingga baterai. “Jadi harapannya ke depan nilai tambahnya dapat lebih tinggi lagi,” ujar Bambang.

Sikap serupa digaungkan oleh Forum Industri Nikel Indonesia (FINI). Ketua FINI, Alexander Barus, mengatakan moratorium izin pembangunan smelter pirometalurgi RKEF mendesak untuk diterapkan seiring pasokan komoditas hasil olahan bijih nikel kadar tinggi yang berlebih dan menyebabkan harganya semakin tertekan.

“Sebaiknya saat ini sudah dilakukan moratorium, artinya izin baru untuk smelter pirometalurgi menurut pendapat saya tidak perlu lagi ada izin,” kata Alex di Hotel Westin pada Selasa (9/5).

Alex, yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), juga mengatakan bahwa pelaku usaha hulu tambang nikel kini kewalahan untuk memenuhi permintaan pasokan nikel saprolite ke perusahaan smelter pengolahan bijih nikel kadar tinggi tersebut.

Meski produksi bijih nikel kadar tinggi menyentuh 130 juta metrik ton per tahun, jumlah tersebut tak sebanding dengan kemampuan dan kapasitas pengolahan seluruh smelter dalam negeri. “Dengan 130 juta ton penambang itu sudah kerja keras, Artinya apa? Bisa ada smelter yang tidak dapat suplai dan terjadi persaingan antar suplai,” ujar Alex.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara (Minerba), Irwandy Arif, menyampaikan laju produksi NPI hingga feronikel saat ini meningkatkan konsumsi bijih nikel yang signifikan untuk memperoleh bijih nikel saprolit kadar tinggi 1,5%-3%.

Irwandy menjelaskan serapan bijih nikel untuk memproduksi NPI dan feronikel saat ini mencapai 100 juga hingga 160 juta ton per tahun. Besaran ini akan bengkak menjadi 450 juta ton per tahun jika pembangunan smelter RKEF masih diteruskan. Di sisi lain, cadangan bijih nikel Indonesia hanya 5,2 miliar ton.

Dia menilai, pemerintah perlu meningkatkan eksplorasi untuk cadangan nikel sembari menggenjot smelter HPAL yang mampu mengolah bijih nikel limonite kadar rendah 0,8-1,5% menjadi menjadi campuran padatan hidroksida dari nikel dan kobalt Mix Hydroxide Precipitate (MHP) maupun Mix Sulphide Precipitate (MSP). Produk tersebut merupakan bahan baku utama produksi nikel sulfat atau kobalt sulfat. Dua produk antara itu merupakan bahan baku komponen baterai.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu