Dewan Energi Nasional (DEN) menilai aksi Singapura untuk mengekspor listrik energi terbarukan dari Kepulauan Riau merupakan langkah untuk mengakomodir pertumbuhan permintaan listrik yang signifikan.
Keputusan Singapura yang hanya ingin membeli listrik dari pembangkit energi terbarukan juga memperhitungkan aspek kelanjutan bisnis global dan tren transisi energi.
Anggota DEN Herman Darnel Ibrahim mengatakan upaya Singapura untuk membeli pasokan listrik energi terbarukan dari Indonesia dilatarbelakangi oleh laju kebutuhan setrum rendah karbon yang tidak mampu diimbangi oleh produksi dalam negeri.
Kondisi geografis Singapura tidak memungkikan Negeri Singa untuk menyediakan pasokan listrik hijau dari geotermal maupun pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Menurut Herman, produksi listrik rendah karbon domestik di Singapura sejauh ini hanya datang dari pembangkit listrik tenaga surya alias PLTS.
Kendati demikian, produksi listrik dari PLTS dinilai belum optimal karena ketebatasan area dan tingginya biaya sewa lahan.
"Singapura tidak punya sumber energi terbarukan yang masif. Satu-satunya mungkin adalah energi surya. Namun pengembangan energi surya butuh tanah luas sementara lahan di sana mahal," kata Herman dalam Energy Corner CNBC pada Selasa (12/9).
Herman menilai langkah Singapura untuk mengekspor listrik energi terbarukan dari Kepulauan Riau lebih efektif ketimbang mengincar pembelian listrik dari Australia melalu jaringan kabel bawah laut.
Perusahaan energi asal Australia, Sun Cable, berencana membangun kabel bawah laut melalui perairan Indonesia. Kabel bawah laut tersebut akan digunakan untuk mengekspor dan menghantarkan listrik yang bersumber dari energi terbarukan ke Singapura.
"Saya lihat Singapura juga ada niat impor dari Australia, namun kemungkinannya kecil karena jaraknya jauh dan berisiko transmisinya," ujar Herman.
Pemerintah Indonesia dan Singapura telah menandatangani kerja sama ekspor listrik ke Singapura. Rencana ini menjadi bagian dari nota kesepahaman yang diteken Menteri ESDM Arifin Tasrif dan Menteri Ketenakerjaan sekaligus Wakil Menteri Perdagangan dan Industri Singapura, Tan See Leng di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat, 8 September lalu.
DEN juga mendorong Kementerian ESDM untuk menyisipkan klausul ekspor-impor listrik di dalam kesepakatan ekspor 4 gigawatt (GW) setrum dari pembangkit energi terbarukan di Kepulauan Riau ke Singapura pada 2027 hingga 2035 mendatang.
Klausul impor listrik merupakan langkah antisipasi untuk menghindari adanya kekurangan pasokan setrum di Indonesia, khususnya di kawasan Kepulauan Riau. Skema timbal balik tersebut bakal menjadi stategi untuk menyerap listrik dari Singapura saat Indonesia mengalami kekurangan pasokan listrik karena kegiatan ekspor secara kontinu maupun permintaan listrik domestik yang naik signifkan.
"Saya sampaikan bahwa ekspor energi antar negara harus mutual benefit. Sifatnya tidak ekspor saja, tapi harus ada ekspor-impor. Kalau hanya ekspor ke Singapura, ini harus didalami lebih dulu," kata Herman.
Herman menilai, kesepakatan ekspor listrik ke Singapura harus diatur secara khusus lewat penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) atau Undang-Undang alias UU. Instrumen tersebut nantinya bakal menjadi pedoman bagi seluruh kegiatan jual-beli listrik lintas negara maupun pasar energi antara Indonesia dengan calon mitra negara potensial.
Menurut Herman, instrumen tersebut harus mengatur ihwal penentuan tarif dan kewajiban penggunaan jaringan listrik atau grid milik BUMN atau BUMD dalam kegiatan ekspor-impor listrik antar negara.
Regulasi tersebut juga diharap mengatur kondisi khusus saat eksportir listrik mengalami kekurangan pasokan untuk pemenuhan dalam negeri. Herman mencontohkan transaksi jual-beli listrik antar negara Thailand dan Malaysia.
Dua negara sepakat bahwa ekspor-impor listrik bertujuan untuk menjaga keandalan energi nasional. Menurutnya, Thailand dan Malaysia menyepakati klausul menggilir atau swap, jika satu pihak mengalami kekurangan pasokan listrik.
"Kondisi seperti ini yang harus dibicarakan dan tertuang di dalam suatu perjanjian. Dan dalam hal ini Singapura hanya mau beli dari sumber energi terbarukan, sementara Indonesia juga butuh untuk modal menuju net zero emission," ujar Herman.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Rachmat Kaimuddin, mengatakan bahwa sumber listrik yang dijual ke Singapura berasal dari pembangkit listrik tenaga surya alias PLTS.
Sejauh ini ada lima perusahaan Indonesia yang telah mengajukan proposal penyediaan listrik rendah karbon ke Singapura, yakni Konsorsium Pacific Medco Solar Energy Medco Power with Consortium partners, PacificLight Power Pte Ltd (PLP) and Gallant Venture Ltd, a Salim Group company, Adaro Green, dan TBS Energi Utama.
PT Medco Power Indonesia yang akan mengembangkan pilot project ekspor listrik dari PLTS Pulau Bulan setelah mendapat izin prinsip dari EMA Singapura. Proyek itu bakal Medco Power lakukan bersama Konsorsium PacificLight Power Pte Ltd (PLP) dan Gallant Venture Ltd, yang merupakan bagian dari Salim Group