Direktur Dua Usaha Mineral Jadi Tersangka Tambang Ilegal di Sultra

ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi/Lmo/nz
Warga mencari pekerja tambang emas yang masih tertimbun di kawasan hutan Jorong Timbahan, Nagari Abai, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, Selasa (11/5/2021).
Penulis: Lavinda
3/10/2023, 14.32 WIB

Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara atau Polda Sultra menetapkan Direktur PT Buana Tama Mineralindo (BTM) HS dan Direktur PT Bumi Nickel Pratama (BNP) AR sebagai tersangka kasus dugaan pertambangan ilegal di kawasan hutan di Desa Marombo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Direktur Direktorat Reserse Kriminal Khusus atau Ditreskrimsus Polda Sultra Kombes Pol Bambang Wijanarko mengatakan penetapan tersangka terhadap dua direktur perusahaan tambang tersebut berawal saat pihak kepolisian menindaklanjuti pengaduan dari masyarakat.

Dalam pengaduan itu disebutkan, telah terjadi dugaan aktivitas pertambangan ilegal di wilayah Marombo, pada Jumat (15/9).

"Di lokasi itu, petugas melakukan pengecekan dan menemukan adanya kegiatan penambangan biji nikel yang diduga dilakukan oleh PT. BTM dengan menggunakan tiga unit ekskavator," kata Bambang di Kendari seperti dikutip Antara, Senin (2/10).

Berdasarkan hasil penyelidikan, BTM melakukan kegiatan penambangan biji nikel berdasarkan kontrak kerja sama dengan BNP. Biaya penambangan dibebankan kepada BTM sebesar Rp 500 juta.

Bambang menjelaskan penyelidikan kasus dugaan pertambangan ilegal itu. Dalam prosesnya, dia melakukan klarifikasi terhadap saksi-saksi terkait dan kepada ahli tindak pidana pertambangan dari Kementerian Energi, dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dijelaskan bahwa lokasi penambangan BTM tidak memiliki izin usaha pertambangan (IUP).

"Bahwa penyidik telah melakukan klarifikasi terhadap ahli tindak pidana kehutanan yang ditunjuk dari Dinas Kehutanan Provinsi Sultra, yang menjelaskan bahwa lokasi penambangan BTM berada di dalam kawasan hutan," ujarnya.

Mantan Direktur Reskrimum Polda Sultra itu juga menyebutkan, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, kedua tersangka, HS dan AR bakal disangkakan dengan Pasal 89 Ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, Jo. Pasal 17 Ayat (1) huruf b Angka 5 Pasal 37 paragraf 4 Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang cipta kerja menjadi Undang-Undang.

Dalam aturan dijelaskan, orang perseorangan yang dengan sengaja melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 1,5 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar.

Selain itu, kata Bambang, menurut Pasal 158 Jo Pasal 35 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara, kedua pelaku terancam pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.