Kementerian ESDM mencatat ada tiga kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang ingin mengubah skema production sharing contract (PSC) atau kontrak bagi hasil migas dari gross split menjadi cost recovery.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan paling tidak ada tiga wilayah kerja migas (WK migas) yang ingin mengubah kontraknya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan jika suatu KKKS meminta perubahan skema kerja sama, hal ini disebabkan risiko investasi dari skema gross split.
“Gross split 100% risikonya digeser ke KKKS, mirip-mirip sistem royalti, artinya negara hanya akan minta sekian persen, segala sesuatunya, segala resiko dan sebagainya silahkan ditanggung KKKS,” ujarnya kepada Katadata.co.id dikutip Jumat (13/10).
Sementara itu, dia menjelaskan jika skema cost recovery, resiko investasi maupun keuntungan marginnya akan dibagi atau didistribusikan kepada pihak yang berkontrak yaitu KKKS dan pemerintah, sehingga ada pengembalian investasi. “Artinya kalau ada risiko ditanggung bersama, tidak dibebankan ke KKKS,” ujarnya.
Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti ini juga menerangkan bahwa seringkali para pengusaha lebih mementingkan mitigasi risiko dibandingkan pendapatan margin atau keuntungan yang lebih besar. “Mungkin mereka lebih nyaman resikonya terdistribusi dibandingkan mendapatkan laba yang maksimal,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Komaidi menyebut, perlunya fleksibilitas bagi KKKS untuk memilih kontrak kerja yang diinginkan. “Kami sarankan untuk menyerahkan kepada kontraktor supaya memilih mana sistem yang paling optimal menurut mereka yang penting kegiatan atau industri hulu migas itu jalan,” kata dia.
Komaidi menjelaskan kedua sistem kerja sama ini memiliki celahnya masing-masing sehingga tidak dapat dibandingkan satu dengan lainnya, sebab setiap lapangan memiliki perbedaan karakteristik, cadangan, hingga usia kontrak.
“Ada satu lapangan yang cocok dengan gross split tetapi ada juga yang lebih cocoknya dengan cost recovery begitu,” kata dia. Sehingga, ketepatan pemilihan kontrak hanya dapat dinilai oleh pelaku (KKKS) sendiri, sebab mereka pasti akan memproyeksikan risikonya.
“Nah yang bisa menilai cocok atau tidaknya ya sebetulnya pelaku itu sendiri ya, mereka yang akan memproyeksikan risikonya dan aspek aspek ekonomi bisnis lain di dalam konteks pengembangan industri dan investasi di hulu migas sendiri,” ucapnya.