Pasar komoditas diprediksi menghadapi tekanan pada 2024. Sebagian besar komoditas energi, mineral, logam dan sejenisnya diramal akan mengalami penurunan harga, meski ada potensi kebangkitan pada 2025.
Dalam laporan Commodity Market Outlook 2023, Bank Dunia harga komoditas yang menghadapi tekanan pada 2024 seperti minyak, gas, batu bara, aluminium, nikel, timah, seng, dan bijih besi. Namun harga komoditas seperti emas dan perak akan terus naik seiring fungsinya sebagai aset investasi dan safe haven.
Minyak Mentah
Menurut proyeksi Bank Dunia, jika organisasi negara pengekspor minyak (OPEC) menghentikan pemangkasan ekspor pada Januari 2024, maka harga minyak pada 2024 dan 2025 akan menurun.
Meski turun, Bank Dunia memprediksi harganya masih 16% di atas harga rata-rata lima tahun sebesar US$ 70 per barel. Tekanan terhadap harga minyak salah satunya berasal dari sisi permintaan yang diprediksi turun 1% pada 2024. “Hal ini akibat pengetatan kebijakan moneter pada negara maju,” tulis Bank Dunia, dikutip pada Rabu (8/11).
Turunnya permintaan dipengaruhi oleh lemahnya permintaan dari Cina yang diperkirakan hanya naik 600 ribu barel per hari pada 2024, sedangkan permintaan dari negara maju lainnya diramal turun.
Namun Bank Dunia juga menyampaikan adanya risiko geopolitik yang berpotensi melambungkan harga minyak hingga mencapai US$ 140-157 per barel. Hal itu dalam skenario terburuk jika konflik di Timur Tengah antara Israel dan Hamas meluas ke kawasan lainnya yang berdampak pada turunnya pasokan hingga 6-8 juta bph.
Gas Alam
Bank Dunia memproyeksikan harga gas alam cair (LNG) di Eropa turun 4% pada 2024 dan berbalik naik 4% pada 2025. Perubahan harga ini dengan asumsi tidak ada konflik antar negara yang terjadi di masa depan.
Mereka juga mencatat, harga patokan LNG di Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan mengalami penurunan 58% pada 2023 akibat penurunan harga LNG global, peningkatan produksi domestik, serta terbatasnya ekspor pada awal tahun.
Kendati demikian, Bank Dunia memproyeksikan harga LNG AS akan naik hingga 20% pada 2024 dan kembali naik 23% pada 2025 yang didorong oleh permintaan ekspor yang lebih tinggi dari permintaan LNG.
Sementara itu, tren harga LNG Jepang diperkirakan akan terus mengikuti tren harga LNG Eropa, meskipun dengan tingkat volatilitas yang lebih kecil karena sifat kontrak patokan.
Perkiraan tersebut mengasumsikan bahwa permintaan global gas alam pada tahun 2023 akan tetap datar secara umum dan meningkat sebesar 1,6 dan 1,9% pada 2024 dan 2025.
Perdagangan LNG akan terus bertambah sebab adanya peningkatan ekspor dari Amerika Serikat, Eropa dan Asia. Selain itu, dengan infrastruktur AS yang baru saja dibangun akan beroperasi pada 2024 dan 2025.
Batu Bara
Harga batu bara diprediksi turun 49% tahun ini, kemudian terus turun 26% pada 2024, dan turun 15% pada 2025. Penurunan ini dengan asumsi konflik di Timur Tengah antara Israel dan Hamas di Palestina tidak meningkat dan menyebar ke wilayah lainnya.
Perkiraan tersebut juga mengasumsikan bahwa pertumbuhan konsumsi saat ini akan melambat pada 2024 dan 2025, dengan peningkatan konsumsi yang lebih kecil di Cina dan India, serta penurunan yang lebih besar di AS dan Uni Eropa. Ini menyebabkan konsumsi global cenderung stagnan pada 2024 dan 2025.
“Konsumsi batu bara global akan mencapai titik tertinggi pada 2024 dan 2025, sama dengan tingkat tertinggi pada 2022. Konsumsi terus berpindah dari negara-negara OECD ke Asia, dengan Cina dan India diperkirakan menyumbang 70% konsumsi pada akhir tahun 2023,” tulis Bank Dunia.
Aluminium
Harga komoditas aluminium diperkirakan turun pada 2024. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kendala pasokan yang akan semakin menurunkan harga.
Meski begitu, harga aluminium akan naik 9% pada 2025 yang didukung oleh peningkatan permintaan untuk produksi kendaraan listrik, energi terbarukan, dan jaringan listrik, dan infrastruktur jaringan listrik terkait.
Selain aluminium, harga tembaga juga diprediksi turun 5% pada 2024, mencerminkan menyusutnya permintaan global serta bertambahnya pasokan tembaga. Meski begitu, harga tembaga ditaksir akan menguat 9% pada 2025 seiring dengan pulihnya permintaan global dan transisi hijau yang semakin intensif.
Bank dunia menulis, permintaan utama tembaga di masa mendatang akan berasal dari kendaraan listrik, energi terbarukan, dan jaringan listrik terkait infrastruktur, yang membutuhkan investasi tambahan dalam tambang tembaga dan kapasitas pemurnian atau smelter.
Nikel
Harga nikel mengalami penurunan 9% pada kuartal III 2023 sebab melambatnya permintaan untuk kebutuhan produksi baterai kendaraan listrik di Cina dan pertumbuhan pasokan nikel yang cepat, terutama dari Indonesia yang menyumbang lebih dari 50% dari pasokan global.
Pada 2024, harga nikel diperkirakan akan turun 10%. Penurunan ini disebabkan oleh peningkatan produksi nikel di Indonesia dan Filipina yang mana dua produsen terbesar di dunia terus tumbuh.
Sedangkan untuk 2025, harga juga ditaksir akan meningkat akibat melonjaknya permintaan nikel untuk baterai kendaraan listrik yang akan menjadi pendorong utama pendorong permintaan di masa depan.
Timah
Harga Timah diperkirakan akan menurun 4% pada 2024. Bank Dunia menulis permintaan timah komponen utama dari manufaktur elektronik, diperkirakan akan tetap lemah. “Ini mencerminkan aktivitas ekonomi yang lemah di negara-negara besar ekonomi utama pada tahun 2024,” tulis laporan Bank Dunia.
Walau turun, bank dunia mencatat harga timah akan naik 8% pada 2025. Hal ini akibat adanya permintaan dari transisi energi sebagai logam input utama untuk panel surya, kendaraan listrik, dan elektronik.
Seng
Bank Dunia menyebut, tahun 2023 dan 2024 akan menjadi tahun dimana harga seng akan mengalami penurunan. Harga seng pada 2024 melemah karena lesunya permintaan dan meningkatnya pasokan.
“Pasokan seng akan meningkat dalam jangka menengah terutama dari proyek-proyek besar di Republik Demokratik Kongo, Rusia, dan Afrika Selatan,” kata Bank Dunia.
Meski turun pada 2024, harga seng diprediksi bangkit di 2025 seiring dengan pulihnya permintaan global diperkirakan akan sedikit mengangkat harga meski pasokan diperkirakan akan berlimpah.
Seng akan mendapatkan keuntungan dari transisi energi, mengingat penggunaannya dalam baja galvanis untuk kendaraan listrik, dan seng sebagai pelapis untuk melindungi panel surya dan turbin angin.
Bijih Besi
Pada tahun 2024 dan 2025, harga bijih besi diproyeksikan menurun. Hal ini karena adanya pengurangan produksi di Cina serta melemahnya aktivitas ekonomi global. Keadaan ini diperkirakan akan membebani permintaan besi permintaan bijih besi.
“Akibatnya, harga bijih besi diperkirakan turun 11% pada 2023 dan turun kembali pada 2024 dan 2025,” kata Bank Dunia. Meski begitu, dalam jangka panjang masih terdapat prospek bagi bijih besi. Terutama dari pertumbuhan pasokan yang stabil dari tambang-tambang baru di Afrika, Australia, dan Brasil.
Emas
Pada kuartal III 2023 ini, harga emas turun 3% karena menguatnya dolar AS serta ekspektasi kenaikan suku bunga yang lebih tinggi. Namun, harga emas tetap akan menguat seiring dengan bertambahnya permintaan dari beberapa sektor, mulai dari investasi hingga konsumsi perhiasan.
Harga emas diperkirakan akan berada di angka rata-rata US$ 1.900 per troy ons pada 2024 atau 6% lebih tinggi dari 2023, sebelum turun pada 2025 karena kekhawatiran inflasi dan resesi yang memudar.
“Konflik di Timur Tengah akan menyebabkan ketidakpastian global yang meningkat, dengan implikasi yang besar terhadap harga emas jika konflik meningkat,” tulis Bank Dunia.
Meskipun dampak awalnya sejauh ini masih terbilang biasa, namun eskalasi konflik akan memperburuk keadaan ini, terlebih apabila menyebabkan berkurangnya selera risiko serta menurunkan kepercayaan konsumen dan investor.
Memang, harga emas telah melonjak pada masa-masa sebelumnya akibat pecahnya konflik geopolitik. Namun pada konflik Timur Tengah dapat meningkatkan harga emas dari level yang sudah tinggi karena investor beralih ke aset-aset safe haven.
Perak
Harga perak diperkirakan akan meningkat sebesar 8% pada tahun 2023, dan tetap menguat pada 2024. Namun Bank Dunia menaksir bahwa harga perak turun pada 2025. “Hal ini karena inflasi dan resesi memudar serta pemulihan ekonomi terjadi, meskipun dengan penurunan permintaan safe-haven,” kata Bank Dunia.