Topik Nikel Digadang Jadi Bahasan Utama Pertemuan Jokowi dan Biden

Dok. Kementerian BUMN
Ilustrasi, pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan Presiden Joe Biden.
Penulis: Agung Jatmiko
11/11/2023, 16.54 WIB

Pada Senin (13/11), Presiden Joko Widodo akan mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden di Gedung Putih, menjelang Pertemuan Pemimpin APEC pekan depan di San Francisco.

Mengutip Diplomat, Jumat (10/11), dalam pertemuan antara dua pemimpin negara ini, beberapa laporan menyebutkan adanya rencana pembicaraan yang intens untuk mencapai kesepakatan di bidang mineral penting, khususnya nikel. Ini dimaksudkan agar Indonesia dan AS memperoleh manfaat yang maksimal dari kerja sama yang erat di bidang mineral.

Indonesia memang mempunyai potensi cadangan mineral penting komponen bahan baku baterai, khususnya nikel, yang merupakan terbesar di dunia. Namun, pada saat yang sama, Indonesia perlu melakukan diversifikasi investasi asing di sektor ini, dan mencegah dominasi satu negara.

Indonesia memandang pengesahan Undang-Undang Pengurangan Inflasi (Inflation Reduction Act/IRA) AS yang baru-baru ini disahkan, yang mencakup subsidi kendaraan listrik yang besar, sebagai peluang untuk memasukkan RI ke dalam rantai pasokan kendaraan listrik AS.

AS sendiri juga berkepentingan mendorong impor mineral penting dari negara-negara selain Cina, karena pertimbangan keamanan terkait keberlanjutan jangka panjang pasokan bahan mentah untuk produksi baterai kendaraan listrik. Mengingat melimpahnya pasokan mineral-mineral yang dimiliki, serta keinginan untuk mendiversifikasi sumber investasinya, maka Indonesia bisa menjadi mitra alami.

Meskipun terdapat kesamaan kepentingan, IRA telah menghambat kerja sama AS-Indonesia di sektor mineral ini. Melalui IRA, pemerintah AS akan mengeluarkan kredit pajak sebesar US$ 370 miliar untuk produsen baterai dan kendaraan listrik, serta subsidi sebesar US$ 370 miliar, termasuk subsidi kepada konsumen kendaraan listrik dan fasilitas tenaga surya.

Namun, Indonesia menghadapi sejumlah kendala dalam memanfaatkan IRA. Pertama, adanya syarat khusus bahwa subsidi hanya dapat digunakan oleh negara-negara yang berstatus free trade agreement (FTA) dengan AS. Kedua, IRA juga mencakup persyaratan lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, and corporate governance/ESG) ketat, yang mungkin sulit dipenuhi oleh Indonesia.

Pada 24 Oktober lalu, sekelompok senator bipartisan menulis surat kepada Perwakilan Dagang AS Katherine Tai, Menteri Keuangan Janet Yellen, Menteri Energi Jennifer Granholm, dan Menteri Perdagangan Gina Raimondo, mempertanyakan apakah nikel Indonesia harus dimasukkan dalam kesepakatan IRA.

Para perwakilan senat tersebut menyampaikan keprihatinan mereka terhadap dominasi operasi yang didukung Cina di sektor pengolahan nikel di Indonesia yang ditandai dengan rendahnya standar lingkungan, hak asasi manusia, dan ketenagakerjaan.

Permasalahan lingkungan tidak hanya menyangkut pertambangan dan pengolahan itu sendiri, tetapi juga ketergantungan industri pengolahan nikel pada pembangkit listrik tenaga batu bara yang menambah emisi rumah kaca yang terkait dengan produksi baterai.

Salah satu solusi yang diusulkan Indonesia terhadap masalah-masalah di atas adalah dengan menjadi perantara Perjanjian Perdagangan Bebas Terbatas (FTA) yang mencakup mineral-mineral penting yang dapat memenuhi syarat pertama IRA.

Namun, kurangnya kepatuhan terhadap ESG kemungkinan besar akan menimbulkan hambatan yang lebih besar terhadap kerja sama lebih lanjut dengan AS. Banyak pihak di AS mempertanyakan standar ESG dari operasi penambangan dan pemrosesan nikel di Indonesia.

Dominasi Cina di sektor pertambangan dan pemrosesan nikel kemungkinan besar akan membuat AS ragu-ragu menjadi perantara kesepakatan mengenai mineral-mineral penting. Oleh karena itu, Indonesia dan AS harus mendiskusikan solusi dan perjanjian kerja sama meningkatkan praktik mineral kritis.

Dalam pertemuannya dengan Jokowi, Biden didesak untuk menekankan pentingnya menciptakan keseimbangan baru dalam rantai pasokan mineral penting. Negara-negara produsen perlu mendorong perusahaan lokal yang siap memasok mineral penting dengan standarisasi yang diinginkan IRA. Produk nikel dengan tata kelola yang lebih baik akan mendapatkan harga yang lebih baik di pasar negara maju.

Setidaknya ada tiga hal mendasar yang harus dilakukan Indonesia untuk memenuhi syarat IRA. Pertama, pemerintah perlu memperbaiki tata kelola sektor mineral penting di Indonesia agar dapat memenuhi standar ESG.

Kedua, Indonesia juga harus melakukan upaya serius untuk melakukan dekarbonisasi pembangkit listrik tenaga batu bara yang memasok industri pengolahan mineral. Dengan melakukan hal ini, akan ada kemajuan yang signifikan dalam transisi energi, sehingga memberikan Indonesia daya tawar yang lebih besar terhadap kesepakatan IRA.

Terakhir, Indonesia perlu mengundang lebih banyak perusahaan internasional, dari Jepang, Korea Selatan, dan Timur Tengah, untuk berinvestasi pada industri pertambangan berkelanjutan guna mencegah dominasi Cina.