Lika Liku Divestasi Freeport yang akan Perpanjang Kontrak hingga 2061

www.ptfi.co.id
Tambang PT Freeport Indonesia.
Penulis: Mela Syaharani
17/11/2023, 13.55 WIB

PT Freeport Indonesia disebut akan segera menambah porsi saham divestasi kepada pemerintah melalui MIND ID dan memperpanjang kontraknya, yang baru akan berakhir pada 2041, selama 20 tahun lagi atau hingga 2061.

Kabar ini muncul dalam rangkaian kunjungan Presiden Indonesia Joko Widodo ke Amerika Serikat (AS) pada Senin (13/11) dan bertemu dengan Chairman Freeport McMoran, Richard Adkerson. Jokowi mengatakan perpanjangan izin tambang sudah mencapai tahap akhir dan diharapkan rampung akhir November 2023.

“Saya senang mendengar pembahasan penambahan 10% saham pemerintah di Freeport Indonesia dan perpanjangan izin tambang selama 20 tahun telah capai tahap akhir,” kata Jokowi kepada Richard Adkerson, seperti dikutip dari siaran pers Sekretariat Kabinet, pada Selasa (14/11).

Jokowi Bertemu Bos Freeport di AS (ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden)

Sejarah Masuknya Freeport ke Indonesia

Freeport menerima izin operasional pertamanya di Indonesia melalui Kontrak Karya I pada 1967. Dalam kontrak tersebut PTFI memiliki hak eksplorasi serta eksploitasi 10 ribu hektare (Ha) lahan konsesi di Kabupaten Mimika selama 30 tahun.

Kontrak Karya I Freeport disebut-sebut sebagai salah satu landasan penyusunan Undang-Undang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967. Meski pemberian kontrak karya terjadi pada 1967, ekspedisi pertama Freeport sudah dilakukan sejak 1936. Freeport kemudian melakukan penambangan perdananya pada 1973.

Pada 1988, Freeport menemukan cadangan emas di tambang Grasberg. Sehingga Freeport bernegosiasi dengan pemerintah untuk memperpanjang Kontrak Karya I yang akan berakhir pada 1997.

Tiga tahun berselang, tepatnya 1991 pemerintah menerbitkan Kontrak Karya II untuk Freeport dengan beberapa catatan baru. Salah satunya mengenai kewajiban divestasi 51% saham kepada Indonesia.

Berkat Kontrak Karya II ini, Freeport akhirnya kembali mengantongi izin perpanjangan operasi selama 30 tahun hingga 2021. Freeport wajib melaksanakan divestasi saham sebesar 9,36% setelah 10 tahun Kontrak Karya II ditandatangani.

Tak hanya itu, dalam kurun 20 tahun terhitung sejak 2001 Freeport berkewajiban menjual 2%% saham per tahun kepada Indonesia agar porsi kepemilikan nasional menjadi 51%.

Selain diberi kewajiban melepas saham hingga 51%, namun Freeport juga diberi hak oleh pemerintah untuk bisa mengajukan perpanjangan izin operasi dua kali 10 tahun hingga 2041. Selama beroperasi, Freeport mengalami perluasan area konsesi yang awalnya hanya 10 ribu Ha menjadi 2,6 juta Ha.

Kontrak yang terbit pada 1991 ini dalam perjalanannya terdapat berbagai masalah. Pertama, mengenai pengolahan serta pemurnian mineral yang kegiatannya didominasi di luar negeri. Hanya 29% saja proses pengolahan serta pemurnian tersebut dilakukan di dalam negeri.

Kedua, posisi pemerintah yang lemah karena tidak bisa mengakhiri kontrak dengan Freeport meski di saat yang bersamaan perusahaan ini dapat memutus kontrak apabila sudah tidak memiliki keuntungan.

Ketiga, pada 1994 melalui penerbitan PP Nomor 20 tentang Kepemilikan Modal Asing ini memberi kelonggaran kewajiban divestasi 51% saham hingga mengizinkan PT FI untuk dimiliki sepenuhnya oleh asing.

tambang freeport (www.npr.org)

Penguatan Posisi Melalui Undang-Undang Minerba

Lima belas tahun kemudian, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Dalam aturan ini, kewajiban divestasi 51% saham kepada Indonesia menguat.

Entitas asing yang mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) berkewajiban melakukan hal ini pasca lima tahun berproduksi. Namun hingga 2014, Freeport masih belum juga menyerahkan 51% sahamnya.

Freeport berlindung menggunakan PP Nomor 20 Tahun 1994, terlebih UU Minerba mengizinkannya untuk tetap menggunakan Kontrak Karya.

Porsi divestasi saham Freeport beberapa kali mengalami perubahan regulasi. Syarat divestasi saham freeport melemah setelah pemerintah menerbitkan PP Nomor 77 Tahun 2014. Dalam aturan tersebut kewajiban divestasi turun menjadi 30% saja.

Empat tahun kemudian, aturan ini berubah lagi setelah pemerintah mengeluarkan PP Nomor 1 Tahun 2017 yang mengembalikan lagi kewajiban divestasi sebesar 51%. Aturan ini menjelaskan tahapan proses divestasi sahamnya.

Perusahaan asing wajib melakukan divestasi saham kepada Indonesia sebesar 20% sejak enam tahun produksi pasca diberikannya status IUP dan IUPK.

Pada tahun ketujuh jumlah divestasi saham harus berjumlah 30%, lalu bertambah menjadi 37% di tahun kedelapan. Di tahun kesembilan jumlahnya harus mencapai divestasi 44% dan menjadi 51% porsi kepemilikan Indonesia pada tahun kesepuluh.

Respon Freeport Soal IUPK

Freeport sempat menolak perubahan Kontrak Karya menjadi IUPK pada awal 2017, salah satu alasannya terkait kedudukan kedua belah pihak. Dalam IUPK, kedudukan Pemerintah Indonesia lebih tinggi sebab bertindak sebagai pemberi izin dan dikhawatirkan pemerintah dapat sewaktu-waktu menyudahi operasional mereka.

Pemerintah kemudian menerbitkan PP Nomor 1 Tahun 2017. Peraturan ini mewajibkan perusahaan tambang mendapatkan IUPK jika ingin tetap melakukan ekspor. Sebelum 2018, porsi kepemilikan Indonesia pada saham Freeport hanya mencapai 9,36% melalui Inalum.

Adanya PP Nomor 1 Tahun 2017 ini, Freeport akhirnya melakukan penandatangan Head of Agreement (HoA) pada 12 Juli 2018 bersama Pemerintah Indonesia di Kementerian Keuangan untuk divestasi 51% sahamnya kepada pemerintah, melalui PT Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum.

Indonesia diwakili oleh Direktur Utama Inalum yang ketika itu masih dijabat oleh Budi Gunadi Sadikin, sedangkan Freeport diwakili oleh Richard Adkerson selaku Chairman Freeport McMorRan.

Pada HoA ini diputuskan beberapa hal diantaranya, kedua belah pihak menyetujui Inalum sebagai pemilik 51,24% saham PTFI. Kemudian, diputuskan juga PTFI perpanjangan operasional dua kali 10 tahun hingga 2041.

Sehingga dengan adanya HoA, maka operasional Freeport yang awalnya dilakukan dengan dua kali Kontrak Karya kemudian berganti menjadi IUPK. Dengan berubah menjadi IUPK, Freeport diwajibkan untuk membangun pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter) tembaga dan logam berharga.

Freeport Inalum (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

Membangun Smelter Tembaga

Terkait smelter tembaga, Pemerintah telah memberikan tenggat waktu penyelesaian proyek ini pada Desember 2023. Tenggat waktu tersebut tercantum di dalam Izin Usaha pertambangan Khusus (IUPK) Freeport yang tertulis bahwa jangka waktu penyelesaian Smelter Gresik paling lambat 5 tahun sejak IUPK itu diterbitkan pada Desember 2018.

Hingga akhir Oktober lalu, Freeport Indonesia telah berhasil menyelesaikan lebih dari 80% pembangunan smelter tembaga Manyar yang berada di Kawasan Ekonomi Khusus Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur. Angka ini sesuai dengan target pemerintah.

Berdasarkan data perkembangan tiga bulan terakhir, progres pembangunan smelter Gresik ini mengalami pertambahan persentase setiap bulannya.

Merinci keterangan Freeport, pada akhir Agustus lalu pembangunan smelter sudah mencapai 75%. Lalu pada akhir September bertambah menjadi 79%, dan akhir Oktober mencapai lebih dari 80%.

Dalam pembangunan smelter kedua ini, PTFI telah menanamkan investasi hingga US$ 2,9 miliar atau setara Rp 43 triliun per akhir Oktober 2023 dari total anggaran US$ 3 miliar.

Perpanjangan Operasional Setelah 2041

Narasi mengenai divestasi atau pelepasan tambahan 10% saham milik Freeport-McMoran di PT Freeport Indonesia (PTFI) kepada pemerintah telah menguat sejak awal tahun ini. Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan proses divestasi akan dieksekusi pada 2041 mendatang.

Dengan divestasi tersebut, pemerintah akan menambah kepemilikan porsi sahamnya di PTFI menjadi 61%. Divestasi juga menjadi persyaratan perpanjangan kontrak izin usaha pertambangan khusus atau IUPK PTFI yang berakhir pada 2041.

Lebih lanjut, kata Arifin, pemerintah tengah mempercepat penyusunan regulasi perpanjangan kontrak IUPK PT Freeport Indonesia meski kontrak operasi produksi baru akan berakhir pada 2041.

Reporter: Mela Syaharani