Kerek Permintaan Domestik, Smelter Mineral Wajib Pakai Gas Mulai 2024

ANTARA FOTO/Anis Efizudin/rwa.
Petugas berjalan di areal stasiun gas R/S sektor 01 (Balkondes) saat perawatan rutin di Desa Wisata Berkelanjutan Karangrejo, Borobudur, Magelang , Jawa Tengah, Rabu (2/11/2022).
Penulis: Mela Syaharani
6/12/2023, 18.00 WIB

SKK Migas mengungkapkan bahwa pemerintah berencana untuk mewajibkan pengusaha smelter mineral di dalam negeri untuk menggunakan gas sebagai bahan bakar. Hal ini untuk meningkatkan permintaan dan penyerapan gas di dalam negeri seiring melimpahnya pasokan.

Menurut catatan SKK Migas, permintaan atau demand gas dalam negeri memiliki kenaikan yang tidak signifikan. Kepala Divisi Komersialisasi Minyak dan Gas Bumi SKK Migas Rayendra Sidik mengatakan pertumbuhan permintaan gas dalam negeri secara rata-rata per tahun dari 2023 sampai 2035 diproyeksikan hanya 3,2%.

Untuk menyiasati hal ini, Rayendra mengatakan pemerintah merencanakan langkah penyelesaian. “Kita bisa memulai membuka pasar baru di domestik, kita mulai jual gas ke industri smelter,” kata Rayendra dalam diskusi media Tata Kelola dan Optimalisasi Gas Bumi di Bekasi pada Rabu (6/12).

Rayendra menyampaikan hal ini selaras dengan dengan kebijakan pemerintah yang mulai mengharuskan para penambang mineral di Indonesia untuk tidak mengekspor hasil mineral secara mentah.

Pemerintah mewajibkan para penambang untuk melakukan ekstraksi di Indonesia dengan membangun pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter tersebut.

“Smelter perlu energi listrik yang tinggi. Nah beberapa smelter yang menggunakan pendanaan ataupun yang dipunyai dari negara-negara maju seperti Kanada Amerika Brazil itu mereka tidak mau menggunakan energi yang bersumber dari karbon yang tinggi,” kata dia.

Melihat keadaan ini, Rayendra menyebut hal tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai peluang terbukanya pasar baru di domestik. “Mulai menandatangani kesepakatan komersial untuk memasok energi gas dalam bentuk LNG ke smelter-smelter di Indonesia. Pasokan akan dimulai kalau nggak salah tahun depan,” kata dia.

Sebelumnya, Pakar Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menyampaikan bahwa perluasan proyek hilirisasi mineral penting dilakukan untuk menyediakan ekosistem rantai pasok dalam pengembangan baterai dan kendaraan listrik di dalam negeri.

Kebijakan hilirisasi mineral merupakan proyek jangka panjang yang berdampak pada penurunan pendapatan negara pada awal implementasi larangan ekspor. Namun, hal itu akan mendatangkan hasil positif seiring semakin bertumbuhnya industri pengolahan dan industri penyerap di dalam negeri.

"Pengalaman larangan ekspor nikel itu memaksa hilirisasi dijalankan oleh pengusaha konsorsium atau investor hilirisasi. Saat larangan ekspor nikel, terjadi kehilangan Rp 21 triliun. Tapi dua tahun kemudian setelah hilirisasi berjalan ada nilai tambah sekitar Rp 62 triliun," ujar Fahmy.

Reporter: Mela Syaharani