Komentar Co-Captain TimNas AMIN, Thomas Trikasih Lembong, soal pasar nikel global menjadi viral di media sosial X sejak kemarin, Minggu (14/1). Ia menyebut harga barang tambang tersebut sudah turun 30% dalam 12 bulan terakhir.
Di tengah penurunan harga, pada 2025 diperkirakan terjadi kelebihan pasokan. “Dengan begitu gencarnya bangun smelter (pabrik pengolahan dan pemurnian) di Indonesia, kita membanjiri dunia dengan nikel,” kata Tom Lembong dalam cuplikan video di kanal YouTube Total Politik.
Di sisi lain, produsen baterai mencari opsi lain untuk membuat baterai. “Mereka membuat formulasi bahan baku baterai yang tidak menggunakan nikel,” ucapnya.
Potongan komentar itu mendapat reaksi beragam di media sosial. Sebagian warganet menyayangkan program hilirisasi pemerintahan Jokowi yang hanya fokus pada nikel. Di kubu lainnya menyatakan dukungannya dengan program tersebut.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan komentar Tom Lembong kurang tepat. Harga nikel dunia memang terjadi penurunan karena kelebihan pasokan. “Tapi bukan dipengaruhi oleh turunnya suplai,” ujarnya.
Penurunan harga bukan disebabkan karena berlimpahnya pasokan dari Indonesia. “Itu kurang tepat juga. Justru kebijakan pelarang ekspor nikel pada 2020 menaikkan harganya cukup tinggi,” kata Fahmy.
Ia justru melihat ke depan kesimbangan pasar akan terjadi, antara permintaan dan pasokan. Saat harga rendah, Indonesia punya kesempatan menggenjot pemakaian nikel untuk memproduksi baja tahan karat alias stainless steel.
Kondisi Pasar Nikel Global
Melansir dari pemberitaan media komoditas asal Inggris, Fast Markets, nikel menjadi logam dasar berkinerja terburuk pada tahun lalu. Harga acuannya di Bursa Metal London anjlok 45% sepanjang 2023.
Sebagian besar proyek smelter nikel berskala besar di Indonesia, perusahaan Cina memiliki lebih dari 25% kepemilikan. Margin keuntungan mereka menghadapi ancaman besar dengan anjloknya harga acuan.
Laju investasi besar-besaran perusahaan Tiongkok pada nikel Indonesia mungkin melambat tahun ini. Sebab, harga nikel terus merosot dan berpotensi mengikis keuntungan para produsen.
Padahal, selama bertahun-tahun perusahaan tersebut telah berbondong-bondong datang ke Indonesia, pemilik cadangan nikel terbesar dunia. Cina melihat peluang dalam industri nikel. Terutama karena negara tersebut sedang menggenjot produksi kendaraan listriknya (EV).
Namun, investasi nikel saat ini jauh lebih padat modal, rentan terhadap ketidakstabilan harga, belum lagi meningkatnya ketegangan politik. Pada 20 Desember 2023, Nanjing Hanrui Cobalt memutuskan membatalkan proyek nikel high-pressure acid leach (HPAL).
Teknologi HPAL adalah pengolahan dan pemurnian nikel limonit dalam wadah bersuhu tinggi. Proses selanjutnya adalah melakukan ekstraksi dari larutan konsentrat untuk mendapat mineral murni.
Nanjing Hanrui Cobalt mengambil langkah tersebut dengan alasan menyusutnya nilai ekonomi di tengah kondisi pasar yang tidak menguntungkan. “Keputusan investasi kami berdasarkan fundamental pada 2019. Namun, dengan pesatnya pertumbuhan kapasitas logam baterai, pasar diperkirakan mengalami surplus struktural,” tulis Hanrui.
Proyek nikel-kobalt Huashan milik Huayou dengan produksi tahunan sebesar 120 ribu ton juga ditangguhkan. Padahal proyek ini dijadwalkan beroperasi pada 2025. “Perusahaan memiliki masalah arus kas, mungkin harus menunda rencana tersebut,” kata sumber perusahaan.
Di tengah prospek lesu tersebut, penambang terbesar dunia, BHP Group Ltd, masih optimistis dengan permintaan nikel global. Melansir Bloomberg, perusahaan memprediksi angka permintaannya akan tumbuh empat kali lipat pada 2050. Sebab, kendaraan listrik hampir seluruhnya mengganti mobil tradisional.
Sembilan dari 10 mobil yang terjual pada 2040, menurut prediksi BHP, adalah kendaraan listrik. Kondisi ini akan membantu meningkatkan penggunaan bahan baku baterai seluruh dunia, termasuk nikel.
Produsen Baterai Cari Pengganti Nikel
Kebutuhan nikel pun diperkirakan akan melambat karena produsen baterai mulai memakai bahan baku alternatif, selain nikel. Tesla sudah melancarkan aksi tersebut sejak Oktober 2021. Perusahaan menggunakan baterai lithium, besi, fosfat (LFP).
Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) pun menemukan 75% mobil listrik yang terjual di Indonesia pada 2022 menggunakan baterai LFP, tanpa nikel. Salah satu merek mobilnya adalah Wuling Air EV.
Sebelumnya, hampir semua kendaraan listrik yang dijual di AS memakai baterai lithium ion dengan katoda yang terdiri dari nikel-kobalt. Baterai ini memberi jangkauan, daya, dan ukuran terbaik tapi harganya mahal.
Selain itu, nikel-kobalt juga rentan terhadap pelepasan panas jika rusak secara fisik. Sedangkan LFP tidak mengandung oksigen sehingga baterai tidak akan terbakar seperti nikel. Hal ini membuatnya jauh lebih aman dan tahan lama.