Pemerintah Diminta Tegas ke Freeport Soal Relaksasi Ekspor Tembaga

ANTARA FOTO/Rizal Hanafi/Zk/aww.
Sejumlah pekerja menyelesaikan pembangunan proyek Smelter Freeport di kawasan Java Integrated and Industrial Port Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur, Kamis (2/2/2023).
Penulis: Mela Syaharani
24/1/2024, 14.24 WIB

PT Freeport Indonesia meminta relaksasi ekspor konsentrat tembaga hingga Mei 2024 diperpanjang menjadi sampai akhir tahun. Pasalnya smelter tembaga Manyar mulai beroperasi pada Mei 2024 dan baru akan mencapai kapasitas penuhnya secara bertahap pada Desember 2024.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar mengatakan pemerintah harus konsisten terhadap kebijakan hilirisasi mineral di Indonesia termasuk tembaga, sebab sudah berulang kali memberikan dispensasi atau kelonggaran terhadap Freeport terkait hal ini.

“Artinya PTFI mendapatkan keuntungan yang luar biasa dari pemerintah, disaat target pembangunan smelter juga tidak bisa sesuai target,” kata Bisman kepada Katadata.co.id pada Rabu (24/1).

Sebagai informasi, PTFI diwajibkan membangun smelter tembaga guna memperoleh Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dimana dalam IUPK PTFI tertulis jangka waktu penyelesaian Smelter Gresik paling lambat 5 tahun sejak IUPK itu diterbitkan pada Desember 2018, atau pada Desember 2023.

“Yang ingin kami sampaikan bahwa ini membuktikan bahwa perencanaan dalam konteks membangun smelter dan perencanaan dalam membuat kebijakan itu tidak konsisten. Dalam konteks ini artinya bahwa pemerintah juga tidak konsisten hilirisasi sebagaimana yang digembar-gemborkan.,” ujarnya.

Menurut Bisman, pemerintahan hanya bersikap tegas dalam penanganan komoditas nikel namun disaat yang bersamaan tidak dapat mengambil sikap serupa untuk komoditas tembaga termasuk PTFI di dalamnya.

Akan tetapi Bisman menyampaikan bahwa jika pemerintah tidak memberikan kelonggaran ekspor tembaga PTFI sampai akhir 2024, maka pemerintah akan berada dalam posisi yang sulit.

“Karena di satu sisi bahwa smelter itu tidak bisa selesai karena mungkin dipaksakan. Tapi disisi lain kalau smelter tidak selesai itu tidak ada opsi lain karena memang tidak ada pilihan smelter yang lain,” ucapnya.

Bisman mengatakan jika izin tidak diberikan maka ada kemungkinan berdampak pada produksi PTFI. “Paling mungkin terjadi penurunan produksi bahkan mungkin bisa jadi stop produksi,” ujar Bisman.

Apabila hal ini terjadi, Bisman menyebut akan menimbulkan dua dampak, yakni secara ekonomi dan sosial. “Dampak ekonomi berupa berkurangnya pendapatan negara termasuk pendapatan BUMN dalam konteks pendapatan Mind ID. Kedua, dampak sosial mungkin bisa jadi akan ada pengurangan tenaga kerja dan sebagainya,” kata dia.

Oleh karena itu, Bisman menjelaskan bahwa dalam pengambilan keputusan izin ekspor ini pemerintah perlu memikirkan dua hal tersebut. “Pertama harus konsisten dalam penegakan hukum untuk dapat menjalankan kebijakan sesuai dengan peraturan yang ada, kedua, harus melihat dampak sosial dan ekonomi,” ujarnya.

Sebelumnya, Kementerian ESDM telah menyetujui Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk 2024 hingga 2026. Namun ESDM belum menyetujui permintaan perpanjangan relaksasi ekspor konsentrat tembaga hingga akhir 2024.

“Untuk masalah ekspor konsentrat mereka juga harus izin lagi kepada kami, saat ini masih dalam proses,” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Bambang Suswantono dalam konferensi pers di kantornya pada Selasa (16/1).

Sebagai informasi, PTFI berharap bisa mendapatkan perpanjangan izin relaksasi ekspor konsentrat tembaga dari pemerintah hingga akhir 2024. Freeport beralasan smelter tembaga Manyar mulai beroperasi pada Mei 2024 dan baru akan mencapai kapasitas penuhnya secara bertahap pada Desember 2024.

“PTFI berharap relaksasi ekspor konsentrat tembaga dapat diberikan sampai smelter PTFI dapat beroperasi penuh,” ujar EVP External Affairs Freeport Indonesia Agung Laksamana kepada Katadata.co.id, Rabu (10/1).

Reporter: Mela Syaharani