Luhut Bantah Tom Lembong Harga Nikel Turun, Ini Tren 10 Tahun Terakhir

PT Antam TBK
Ilustrasi bijih nikel.
Penulis: Mela Syaharani
25/1/2024, 18.08 WIB

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa dalam 10 tahun terakhir trennya mengalami kenaikan. Hal ini disampaikan luhut melalui video yang diunggah pada akun instagram pribadinya pada Rabu (24/1).

Luhut memberi tanggapan atas pernyataan mantan Kepala BKPM periode 2016 hingga 2019 Thomas Trikasih Lembong mengenai harga nikel yang mengalami penurunan.

“Anda perlu melihat data panjang 10 tahun. Kan siklus dari komoditi itu naik turun, tapi kalau kita melihat selama 10 tahun terakhir ini, harga nikel dunia itu ya di kisaran US$ 15. 000 per ton,” kata Luhut, melalui Instagram pribadinya pada Rabu (24/1).

Melansir data bank dunia, dalam 10 tahun terakhir harga nikel dunia menunjukkan tren fluktuatif namun cenderung meningkat. Pada 2014 harga rata-rata nikel dunia setinggi US$ 16.893/ton.

Kemudian pada 2015, harga rata-rata nikel mengalami penurunan sebesar 29,7% menjadi US$ 11.862/ton. Periode 2011 hingga 2015 memang harga nikel menurun. Ini merupakan dampak krisis finansial Amerika, krisis Eropa, serta perlambatan ekonomi Cina membuat permintaan atas bahan baku melambat.

Kondisi kian parah pada 2016. Harga nikel kembali menurun bahkan menyentuh level US$ 9.595/ton atau anjlok 19,1%. Tahun 2016 menjadi tahun dengan harga rata-rata nikel terendah dalam 10 tahun terakhir.

Usai menurun pada dua tahun berturut-turut, harga nikel kembali menguat pada 2017. Tercatat pada tahun tersebut, harga rata-rata nikel berada di angka US$ 10.409/ton atau naik 8,4% dibandingkan 2016.

Harga nikel melanjutkan tren positifnya ada 2018. Saat itu Bank Dunia mencatat rata-rata harga komoditas ini berkisar US$ 13.114/ton atau naik hampir 26% dalam setahun. Lalu pada 2019 harga nikel torehkan kenaikan 6% menjadi US$ 13.913/ton.

Tahun pertama pandemi Covid-19, harga nikel mengalami sedikit koreksi. Pada 2020 Bank Dunia melaporkan bahwa harga rata-rata nikel mencapai US$ 13.787/ton.

Setelah tiga tahun berturut-turut harga nikel berada di kisaran US$ 13 ribu per tonnya. Pada 2021 harganya mengalami kenaikan yang cukup besar yakni mencapai 33,9% menjadi US$ 18.464/ton.

Pada Maret 2022, harga nikel melonjak hingga menyentuh level US$ 33,924/ton, meski kembali merosot ke level US$ 21.481/ton empat bulan setelahnya atau pada Juli, lalu melonjak ke level US$ 28,946/ton pada akhir 2022. Setelah itu harga nikel terus merosot hingga di bawah US$ 16.000/ton. Simak databoks berikut:

Melansir laporan tahunan Nornickel, pada 2021 terdapat beberapa penyebab harga nikel mengalami kenaikan. Seperti optimisme pasar terhadap laju pemulihan ekonomi global, melemahnya dolar ketika pemerintahan baru Biden mengumumkan paket stimulus sebesar US$ 1,9 triliun, serta insiden industri di Norilsk yang mempengaruhi pasokan logam di pasar.

Meski meningkat cukup signifikan, namun 2021 bukanlah tahun peningkatan tertinggi. Sebab pergerakan harga rata-rata nikel tertinggi selama 10 tahun menurut data Bank Dunia terjadi pada 2022 ketika harga menyentuh level US$ 25.833/ton atau melonjak 39,9% dibandingkan tahun sebelumnya.

Mengacu pada laporan Nornickel, kenaikan harga selama 2022 ini juga dipengaruhi beberapa hal. Misalnya pada awal tahun, dinamika harga nikel didominasi oleh meningkatnya ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina, yang semakin diperburuk oleh rendahnya nilai tukar saham.

Kemudian penguatan harga juga didukung oleh peningkatan penjualan di pasar EV. Kenaikan harga ini juga didukung oleh rumor mengenai kemungkinan pajak ekspor nikel Indonesia, serta gangguan di beberapa lokasi produksi nikel di Ukraina dan Kaledonia Baru.

Setelah mengalami kenaikan yang cukup besar dari 2021 ke 2022, harga nikel pada tahun kemarin mengalami penurunan. Bank dunia mencatat, selama 2023 harga rata-rata nikel dunia sebesar US$ 21.521/ton atau menurun 16,69% dibandingkan periode sebelumnya.

Penjelasan Luhut

Luhut juga menjelaskan pada 2014 hingga 2019 saat periode hilirisasi mulai dilakukan pemerintah, harga nikel masih berada di bawah harga saat ini. “Dulu hanya US$ 12.000 per ton. Jadi saya nggak ngerti kenapa Tom Lembong memberikan statement seperti ini,” ujarnya.

Menurut Luhut, Tom Lembong memberikan arahan dan fakta yang kurang sesuai dengan data di lapangan. “Tom harus mengerti kalau harga nikel tinggi terlalu tinggi itu sangat berbahaya. Kita belajar dari kobalt, 3 tahun lalu harganya begitu tinggi orang akhirnya mencari bentuk baterai lain. Itu salah satu pemicu lahirnya lithium ferro phosphate (LFP) itu,” ucap Luhut.

“Jadi ini kalau kita membuat harga nikel terlalu tinggi maka orang akan cari alternatif lain karena teknologi berkembang sangat cepat. Oleh karena itu kita mencari keseimbangan supaya betul-betul barang kita (nikel) nih masih tetap dibutuhkan Sampai beberapa belas tahun yang akan datang,” kata dia.

Reporter: Mela Syaharani