Sejumlah pemerintah daerah berencana menaikkan tarif pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) menjadi 10%. Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji menyampaikan tidak ada kriteria khusus yang menjadi persyaratan dalam penentuan tarif PBBKB.
“Itu kan maksimal 10% PBBKB-nya. Kriteria menjadi 10% itu enggak ada,” kata Tutuka saat ditemui di Kementerian ESDM pada Selasa (30/1).
Karena ketiadaan kriteria ini, Tutuka menyebut perlu adanya ketentuan baru yang mengatur lebih lanjut mengenai tarif PBBKB. “Kalau menurut saya harus ada kriterianya. Jadi petunjuk teknis dari UU atau aturan turunan itu yang menurut saya diperlukan sebetulnya,” ujarnya.
Tutuka menyebut Kementerian ESDM meminta kepada pengambil kebijakan untuk memikirkan kembali seluruh aspek terkait kenaikan tarif PBBKB ini.
“Kalau rekomendasi tunda atau tidak itu kami tidak sampai ke sana, karena itu bukan wewenang kami. Tapi kami membeberkan dampaknya besar. Itu harus consider dalam mengambil keputusan,” kata dia.
Di lain kesempatan, Tutuka menyebut kenaikan tarif PBBKB ini dapat berdampak pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), khususnya BBM non subsidi seperti Pertamax series dan Dex series.
“Kami sudah menghitung, bahwa ini akan menimbulkan kenaikan batas harga atas. Harga batas atas ini tentunya juga akan meningkatkan harga BBM, karena margin kemungkinan akan tergerus dengan pajak,” kata Tutuka dalam acara Energy Corner CNBC.
Tutuka menyampaikan, apabila terjadi kenaikan harga di masyarakat maka juga dapat berpotensi terjadinya inflasi. “Akan berakibat kepada inflasi dan seterusnya, namun belum pernah kami bahas lebih dalam tentang ini,” ujarnya.
Selain menghitung dampak, Tutuka juga turut menghitung kemungkinan kisaran kenaikan harga BBM. Menurutnya, kenaikan harga ini dianggap cukup signifikan bagi masyarakat. “Kami kasih simulasi satu harga pada kondisi 2024. Untuk harga HC 5% itu Rp 13.546 per liter, Dengan PBBKB 10% harganya menjadi Rp 14.130,” ucapnya.